Melacak populasi binatang laut seperti lumba-lumba memang bukan hal yang mudah. Namun, bukan berarti hal ini tidak mungkin dilakukan.
Sebuah terobosan terbaru dari Scripps Institution of Oceanography di California memperkenalkan sebuah alat algoritma yang mampu menangkap lebih dari 52 juta suara lumba-lumba dan mengidentifikasi tujuh kelompok suara yang berbeda.
Dalam penelitian yang sudah diterbitkan di jurnal PLOS Computational Biology, tim peneliti menjelaskan bahwa mereka menggunakan alat ekolokasi atau biosonar.
Ini adalah sensor yang diletakkan di bawah air untuk menangkap suara lumba-lumba. Dari sini, peneliti dapat mengetahui jumlah, distribusi, dan perilaku mamalia.
(Baca juga: Lumba-lumba Bersenandung untuk Bayi dalam Kandungan)
Seperti dilansir dari New York Times, Jumat (8/12/2017), para peneliti sekaligus penulis makalah berspekulasi bahwa jenis suara yang ditangkap itu sesuai dengan berbagai jenis lumba-lumba yang ada di dalam laut.
Ide ini datang dari Kait Frasier saat dia memulai program PhD-nya di laboratorium Akustik Paus, Scripps, untuk mempelajari bencana industri tumpahan minyak Horizon Deepwater (The Deepwater Horizon oil spill) yang terjadi di teluk Meksiko pada 20 April 2010.
Pada saat itulah, Dr Frasier kemudian memantau kondisi dan apa yang dilakukan lumba-lumba setelah ledakan industri dahsyat itu terjadi.
Dia dan koleganya meletakkan sensor akustik di sekitar teluk Meksiko. Sensor ini berfungsi untuk mengubah energi-energi akustik (gelombang suara) menjadi sinyal elektronik.
Kemudian Frasier mengumpulkan banyak data dari situ untuk mengidentifikasi pergerakan lumba-lumba.
Akan tetapi, menerapkan alat ekolokasi untuk memantau lumba-lumba tidak langsung dilakukan begitu saja.
Sebelumnya, Frasier penasaran apakah mesin pengolahan data yang digunakan oleh Google dan Facebook dapat diterapkan untuk mempelajari lumba-lumba.
"Maksudnya, alat itu dirancang secara harafiah untuk data besar," jelas perempuan yang sudah mempelajari pola lumba-lumba selama bertahun-tahun itu.