Sebuah penggalian di sebuah gua di Sulawesi mengungkap koleksi unik ornamen dan karya seni prasejarah yang berasal dari, dalam beberapa kasus, setidak-tidaknya 30.000 tahun lampau. Situs itu diperkirakan pernah dipakai beberapa seniman gua paling awal di dunia.
Temuan-temuan baru kami, menggugat pandangan yang lama dianut bahwa masyarakat pemburu-peramu era Pleistosen (“Zaman Es”) di Asia Tenggara miskin budaya.
Temuan-temuan itu juga menyiratkan bahwa kehidupan spiritual manusia berubah ketika mereka menjumpai spesies-spesies yang tadinya tidak mereka ketahui dalam perjalanan mereka dari Asia ke Australia.
Perjalanan manusia keluar Asia
Manusia modern mendiami Australia 50.000 tahun silam. Untuk sampai ke Australia mereka harus menyeberang dengan perahu dari Eurasia kontinental ke Wallacea, sebuah sebaran rangkaian pulau dan atol yang membentang menjembatani lautan antara Asia daratan dan Australia.
Para arkeolog sudah lama berspekulasi tentang kehidupan kutural Homo sapiens pertama yang memasuki Wallacea, sebagai bagian dari migrasi besar spesies kita keluar dari Afrika.
Beberapa pihak berpendapat bahwa kebudayaan manusia pada masa Pleistosen Akhir mencapai tingkat kompleksitas yang tinggi ketika Homo sapiens menyebar ke Eropa, bahkan jauh ke timur sampai India. Sesudah itu, kebudayaan dianggap merosot dari segi kecanggihan ketika manusia menempuh perjalanan penuh bahaya ke kawasan tropis Asia Tenggara dan Wallacea.
Tetapi penelitian baru di Wallacea terus-menerus membongkar pandangan ini.
Temuan-temuan baru dari Sulawesi ‘Zaman Es’
Dalam tambahan terakhir dari rentetan penemuan ini, kami memaparkan sekelompok artefak simbolik yang belum terdokumentasikan sebelumnya yang digali dari sebuah gua batu kapur di Sulawesi, pulau terbesar di Wallacea.
Menggunakan serangkaian metode, artefak-artefak tersebut ditetapkan berasal dari masa antara 30.000 dan 22.000 tahun lampau. Artefak-artefak itu meliputi manik-manik berbentuk cakram yang dibuat dari gigi babirusa, babi primitif yang hanya ada di Sulawesi, dan “bandul” dari tulang jari kuskus beruang, makhluk mirip posum besar yang juga khas Sulawesi.
Michelle Langley dan Adam Brumm/gambar tulang kuskus beruang, Luke Marsden/Kuskus beruang dan babirusa, Shutterstock., Author provided
Ditemukan pula peralatan batu dengan tanda silang, bermotif seperti daun dan pola-pola geometris lainnya, yang maknanya tidak jelas.
Bukti lebih jauh bagi kebudayaan simbolis ditunjukkan oleh melimpahnya jejak produksi seni batu yang dikumpulkan dari penggalian gua. Jejak-jejak itu meliputi sisa-sisa oker bekas, bercak oker pada alat dan sebuah pipa tulang yang mungkin adalah “airbrush” untuk menciptakan seni stensil.
(Atas) Michelle Langley (bawah) Yinika Perston., Author provided
Semua itu berasal dari deposit yang sama umurnya dengan lukisan gua yang sudah ditetapkan masanya di perbukitan batu kapur sekitarnya.
Sungguh sangat tidak lazim mengungkap bukti terkubur bagi aktivitas simbolis di tempat-tempat yang sama di mana seni batu Zaman Es ditemukan. Sebelum penelitian ini, kita tidak tahu apakah para seniman gua Sulawesi menghias diri mereka dengan ornamen atau tidak, atau apakah seni mereka melampaui lukisan batu.
Seni dan ornamen mula-mula dari Wallacea
Penggalian-penggalian gua sebelumnya di Timor-Leste (Timor Timur) menemukan kulit kerang berumur 42.000 tahun yang dipakai sebagai “perhiasan”, sebagaimana dilaporkan pada 2016. Pada tahun 2014 para arkeolog mengumumkan bahwa sebuah gua seni dari Sulawesi termasuk di antara yang paling lama bertahan di planet ini.
Di satu gua, sebuah gambar tangan manusia berumur setidak-tidaknya 40.000 tahun. Gambar itu dibuat oleh seseorang yang menempelkan kuat-kuat telapak dan jari-jari tangannya ke langit-angit dan menyemprotkan cat merah di sekelilingnya.
Di sebelah stensil tangan terdapat lukisan seekor babirusa yang diciptakan setidak-tidaknya 35.400 tahun lampau.
Karya-karya seni ini seumuran dengan dengan lukisan-lukisan gua spektakuler yang menggambarkan badak, mammoth, dan hewan-hewan lain dari Prancis dan Spanyol, sebuah wilayah yang lama dianggap sebagai tempat kelahiran kebudayaan artistik modern. Beberapa ahli prasejarah bahkan menyatakan bahwa keberadaan seni berumur 40.000 tahun di Indonesia itu menunjukkan bahwa seni batu mungkin muncul di Afrika jauh sebelum spesies kita menginjakkan kaki di Eropa, meski mungkin juga ini berawal di Asia.
Berdasarkan bukti baru yang muncul dari Timor dan Sulawesi, sekarang tampak bahwa kisah manusia purba di Wallacea kurang maju secara kultural daripada manusia-manusia lain, terutama manusia Eropa Palaeolitikum, adalah salah.
Dunia aneh Wallacea
Berkat keunikan biogeografi Wallacea, manusia modern pertama yang memasuki kepulauan ini pasti menjumpai sebuah dunia yang eksotis penuh dengan hewan dan tumbuh-tumbuhan yang tidak pernah mereka bayangkan adanya.
Dikelilingi palung-palung laut dalam, sekitar 2.000 pulau Wallacea sangat sulit dijangkau organisme yang tidak bisa terbang. Karena ketertutupan akses, pulau-pulau ini cenderung dihuni relatif sedikit mamalia darat. Garis keturunan endemik pasti muncul di banyak pulau karena dari isolasi evolusioner ini.
Sulawesi adalah pulau yang paling aneh dari semua pulau itu. Pada dasarnya semua mamalia darat pulau itu, kecuali kelelawar, tidak ada di tempat lain di bumi ini. Sulawesi boleh jadi adalah tempat di mana manusia pertama kali melihat marsupial (kuskus).
Penemuan ornamen-ornamen yang dibuat dari tulang dan gigi babirusa dan kuskus beruang—dua spesies endemik paling khas di Sulawesi—menyiratkan bahwa dunia simbolis para pendatang baru tersebut berubah untuk menyertakan makhluk-makhluk yang belum pernah dilihat sebelumnya itu.
Penggalian kami telah menemukan ribuan tulang dan gigi hewan, tetapi hanya sebagian kecil yang berasal dari babirusa. Hampir tidak ditemukannya babirusa dalam makanan penghuni gua, ditambah dengan penggambaran hewan-hewan tersebut dalam seni mereka, dan penggunaan bagian-bagian tubuh babirusa sebagai “perhiasan”, menunjukkan bahwa makhluk langka dan sukar diidentifikasi ini mendapatkan nilai simbolis tertentu dalam kebudayaan manusia Zaman Es.
Barangkali orang-orang Sulawesi pertama merasakan hubungan spiritual yang kuat dengan mamalia bertampang aneh ini.
“Interaksi sosial” dengan spesies baru Wallacea ini kemungkinan besar sangat mendasar sifatnya bagi kolonisasi manusia mula-mula di Australia dengan komunitas kaya flora dan fauna endemik megafauna yang tak pernah mereka jumpai sebelumnya, dan sekarang sudah punah.
Bahkan, unsur-unsur hubungan spiritual kompleks manusia-hewan yang menjadi ciri kebudayaan Aborigin di Australia bisa jadi berakar pada perjalanan mula-mula manusia melalui Wallacea dan pengalaman manusia pertama dengan kehidupan hewan aneh wilayah tersebut.
Adam Brumm, ARC Future Fellow, Griffith University dan Michelle Langley, DECRA Research Fellow, Griffith University
Sumber asli artikel ini dari The Conversation. Baca artikel sumber.