Ilmuwan Dunia Berpaling ke Asia dan Australia untuk Menulis Ulang Sejarah Manusia

By , Jumat, 29 Desember 2017 | 12:00 WIB

Studi-studi ini menunjukkan bahwa interaksi antara manusia “baru” (Manusia Modern seperti Anda dan saya) dan manusia “lama” (Neanderthal, Denisovan, Homo erectus, Homo florensiensis, yang semuanya sekarang sudah punah) bukan sekadar soal pergantian sederhana. Tampaknya yang terjadi justru kelompok manusia baru dan kelompok manusia lama membaur, kawin sekerabat, berperang, dan berinteraksi dengan banyak sekali cara berbeda-beda yang sampai sekarang masih kita analisis.

Hasil dari perjumpaan-perjumpaan itu tampaknya meninggalkan beberapa warisan yang masih bertahan, seperti keberadaan sekitar 1-4% DNA Neanderthal pada Manusia Modern non-Afrika.

Studi-studi ini juga mengidentifikasi beberapa perbedaan antara “kita” dan “mereka”, seperti fakta bahwa kita manusia modern rentan terhadap kondisi-kondisi otak seperti autisme dan skizofrenia, tapi tampaknya Neanderthal tidak.

Peta situs dan postulat jalur migrasi terkait manusia modern yang menyebar di seluruh Asia selama Pleistosen Akhir KLIK UNTUK ZOOM. Katerina Douka dan Michelle O'Reilly

Kisah Asia

Daerah Australasia memainkan peran semakin besar dalam penulisan ulang kisah-kisah sejarah manusia.

Fosil-fosil baru seperti Homo floresiensis mengubah sepenuhnya pandangan kita tentang kisah manusia di daerah ini. Orang-orang mini—" hobbits"—yang ditemukan di Pulau Flores, Indonesia, itu terus menantang para ahli paleoantropologi—apakah mereka Homo erectus kerdil? Atau apakah mereka keturunan sesuatu yang jauh lebih kuno? Apa implikasinya?

Tetapi mungkin yang lebih menarik (setidak-tidaknya bagi saya), adalah banyaknya temuan-temuan artefaktual yang mengemuka dalam tahun-tahun belakangan.

Sekarang terlihat bahwa salah satu spesies manusia yang lebih tua, Homo erectus, mungkin memiliki semacam kemampuan simbolisme—sesuatu yang jarang dikaitkan dengan mereka. Hipotesis ini muncul berkat analisis-analisis baru terhadap material yang diperoleh dari penggalian-penggalian lama.

Meninjau kembali material yang digali dari lokasi fosil Homo erectus pertama yang diketahui—Trinil di Jawa Timur, pertama kali ditemukan oleh Eugène Dubois pada 1891—para ilmuwan menjumpai sebuah kulit kerang air tawar yang memperlihatkan sebuah pola zig-zag. Pola ini dibuat dengan cermat menggunakan peralatan batu lebih dari 400.000 (dan mungkin malah 500.000!) tahun lampau. Motif-motif geometris semacam itu pernah dijumpai di situs-situs kawasan selatan Afrika—tapi semuanya Manusia Modern—dan semuanya jauh lebih muda. Di Eurasia pun ada desain semacam itu, tapi jarang-jarang terlihat dalam konteks Neanderthal.

Berjalan kaki menuju karst Maros di Sulawesi—tempat seni batu karang tertua di dunia berada. M. Langley, Author provided

Temuan-temuan lain di Kepulauan Asia Tenggara—kali ini berkenaan dengan manusia modern, Homo sapiens—menunjukkan bahwa ranah kreativitas luar biasa bukan melulu domain Afrika dan Eropa. Berbagai eksplorasi dan ekskavasi di Sulawesi dan Timor-Leste tidak hanya menemukan seni batu karang tertua di dunia, tetapi juga banyak sekali perhiasan dan benda-benda artistik lain.

Lebih dari kecenderungan pada seni tersebut, ditemukan juga bahwa kolonis manusia modern pertama di Asia mempraktikkan strategi mencari makanan yang kompleks, seperti mencari ikan di laut dalam. Temuan semacam itu menunjukkan adanya pengetahuan luas tentang laut, bahayanya, dan manfaat yang diberikannya.