Bencana Iklim Tahun 536, Tahun Kegelapan dan Kaitannya dengan Krakatau

By Utomo Priyambodo, Jumat, 14 Januari 2022 | 10:00 WIB
Ilustrasi bencana iklim tahun 536 Masehi. (Art Renewal Center/Wikimedia Commons)

Ketiga kutipan ini hanyalah contoh representatif dari banyak catatan dari seluruh dunia, yang ditulis pada era yang bersangkutan. Dalam semua kasus, matahari digambarkan semakin redup dan kehilangan cahayanya. Banyak juga yang menggambarkannya memiliki warna kebiruan.

Efeknya ketidakcerahan semacam ini juga terjadi pada bulan. Bulan jadi terlihat tidak cerah lagi.

Pengurangan cahaya mengakibatkan pengurangan panas di planet ini. Kurangnya hujan dan musim dingin yang sangat panjang mengakibatkan gagal panen dan burung serta satwa liar lainnya musnah, seperti yang ditulis oleh Zacharias dari Mytilene. Kelaparan dan wabah penyakit melanda banyak daerah dan ada banyak kematian.

Di Tiongkok dan Jepang, peristiwa ini juga direkam dengan sangat detail. Dengan langkanya air, terjadi kekeringan besar dan banyak kematian terjadi akibatnya. Ratusan ribu mil persegi sawah menjadi tidak subur. Kronik Beishi, sejarah resmi Dinasti Utara, menyebutkan bahwa di provinsi Xi'an 80% dari populasi meninggal dan yang selamat memakan mayat untuk bertahan hidup. Tahun kejadian itu adalah 536 Masehi.

Peristiwa bencana juga melanda Korea, Amerika, Eropa, Afrika, dan Australia. Meski catatan tertulis untuk persitiwa itu tidak ditemukan di semua negara, data arkeologi dan geologi mengungkapkan bukti perubahan iklim. Studi yang dilakukan pada batang pohon, misalnya, menunjukkan bahwa tahun 536 Masehi adalah tahun yang terdingin dalam 1.500 tahun.

Baca Juga: Syair Lampung Karam: Kesaksian Warga atas Kengerian Letusan Krakatau

Pertanyaan penting dalam semua ini adalah mengapa hal itu terjadi? Meskipun tidak ada jawaban pasti untuk bencana iklim tahun 536, satu teori kuat yang dikemukakan adalah letusan gunung berapi raksasa, karena debu yang terlempar ke atmosfer bisa menyebabkan peredupan cahaya.

Salah satu gunung kandidatnya adalah Krakatau, yang terletak di antara pulau Jawa dan Sumatra di Indonesia. Memang, Pustaka Raja Purwa (artinya “Kitab Raja-Raja Purba”) yang ditulis pada tahun 1869, menggambarkan adanya letusan sebuah gunung berapi purba.

Meskipun manuskrip ini mengacu pada tahun 416 Masehi dan bukan 535 Masehi, fakta bahwa manuskrip ini ditulis pada abad ke-19 dapat menjelaskan ketidakakuratan referensi waktu.

Tapi, mengapa letusan gunung berapi mempengaruhi suhu global? Ketika gunung berapi meletus, ia memuntahkan belerang, bismut, dan zat lain tinggi ke atmosfer. Di sana zat-zat tersebut "membentuk selubung aerosol yang memantulkan cahaya matahari kembali ke luar angkasa sehingga mendinginkan planet ini,” jelas Ann Gibbons di Science.