Bencana Iklim Tahun 536, Tahun Kegelapan dan Kaitannya dengan Krakatau

By Utomo Priyambodo, Jumat, 14 Januari 2022 | 10:00 WIB
Ilustrasi bencana iklim tahun 536 Masehi. (Art Renewal Center/Wikimedia Commons)

Nationalgeographic.co.id—Sepanjang tahun 536 Masehi, dunia dilanda musim dingin yang panjang. Dijuluki sebagai "tahun kegelapan", pada tahun ini suhu di bumi turun drastis dan matahari diredupkan oleh kabut besar yang menghalangi sinarnya mengenai bumi selama 24 jam sehari selama 18 bulan.

Bencana iklim ini mempengaruhi Eropa, Timur Tengah dan bahkan sebagian Asia hingga selama dekade berikutnya. Faktanya, "penurunan iklim ini mungkin telah sangat mengubah jalannya sejarah." Tapi apa yang menyebabkan bencana iklim global ini?

Pada tahun 2018, Science melaporkan bahwa sejarawan abad pertengahan Michael McCormick telah menyatakan bahwa tahun 536 "adalah awal dari salah satu periode terburuk untuk hidup, jika bukan tahun terburuk."

Dalam karya sejarahnya Historiae Ecclesiasticae, yang diterjemahkan sebagai "Church Histories", John dari Ephesus, sejarawan sekaligus pemimpin gereja abad ke-6, menulis bahwa "matahari menjadi gelap dan kegelapannya berlangsung selama 18 bulan."

Baca Juga: Dalam Enam Bulan 10 Juta Orang Terpaksa Mengungsi karena Bencana Iklim

Antara tahun 535 dan 536 Masehi, serangkaian peristiwa iklim besar terjadi dan dapat dengan mudah digambarkan sebagai bencana global. "Setiap hari, [matahari] bersinar selama sekitar empat jam, dan tetap saja cahaya ini hanya bayangan yang lemah. Semua orang menyatakan bahwa matahari tidak akan pernah mendapatkan cahaya penuhnya lagi," tulis John.

Faktanya, menurut Brandon Specktor di Live Science, "jatuhnya Kekaisaran Romawi mungkin merupakan sebagian akibat dari dekade kelaparan dan wabah yang dimulai pada tahun 536 M." Penurunan suhu sebenarnya merupakan awal dari dekade terdingin yang pernah dialami selama 2.000 tahun terakhir.

Suhu rendah ini, yang turun hingga 1,5 derajat Celsius di musim panas misalnya, menyebabkan gagal panen dan kelaparan yang tercatat di seluruh dunia. Hanya beberapa tahun kemudian, pada 541 Masehi, Wabah Justinian membunuh sebanyak 100 juta orang di seluruh Mediterania, waktu yang mengerikan untuk hidup.

John dari Ephesus bukan satu-satunya penulis yang menyebutkan bencana iklim ini. Procopius, yang hidup antara tahun 500 dan 565 Masehi dan merupakan sarjana dan sejarawan Bizantium kuno, juga mencatat perilaku aneh matahari selama tahun 536 Masehi.

Percaya fenomena itu merupakan pertanda buruk yang meramalkan peristiwa yang akan datang, Procopius menyatakan "dan terjadi selama tahun ini bahwa sebuah pertanda yang paling menakutkan terjadi. Karena matahari memancarkan cahayanya tanpa kecerahan, seperti bulan, sepanjang tahun ini, dan tampak sangat seperti matahari dalam gerhana, karena pancaran sinarnya tidak jelas."

Baca Juga: Studi Terbaru: Longsoran Anak Krakatau pada 2018 Mampu Mengubur London

Dikutip dari Ancient Origins, referensi lain untuk bencana iklim tahun 536 berasal dari penulis abad ke-6 Zacharias dari Mytilene, yang menulis sebuah kronik yang berisi bagian yang mengacu pada "Matahari Gelap" antara tahun 535 dan 536 Masehi.

Ketiga kutipan ini hanyalah contoh representatif dari banyak catatan dari seluruh dunia, yang ditulis pada era yang bersangkutan. Dalam semua kasus, matahari digambarkan semakin redup dan kehilangan cahayanya. Banyak juga yang menggambarkannya memiliki warna kebiruan.

Efeknya ketidakcerahan semacam ini juga terjadi pada bulan. Bulan jadi terlihat tidak cerah lagi.

Pengurangan cahaya mengakibatkan pengurangan panas di planet ini. Kurangnya hujan dan musim dingin yang sangat panjang mengakibatkan gagal panen dan burung serta satwa liar lainnya musnah, seperti yang ditulis oleh Zacharias dari Mytilene. Kelaparan dan wabah penyakit melanda banyak daerah dan ada banyak kematian.

Di Tiongkok dan Jepang, peristiwa ini juga direkam dengan sangat detail. Dengan langkanya air, terjadi kekeringan besar dan banyak kematian terjadi akibatnya. Ratusan ribu mil persegi sawah menjadi tidak subur. Kronik Beishi, sejarah resmi Dinasti Utara, menyebutkan bahwa di provinsi Xi'an 80% dari populasi meninggal dan yang selamat memakan mayat untuk bertahan hidup. Tahun kejadian itu adalah 536 Masehi.

Peristiwa bencana juga melanda Korea, Amerika, Eropa, Afrika, dan Australia. Meski catatan tertulis untuk persitiwa itu tidak ditemukan di semua negara, data arkeologi dan geologi mengungkapkan bukti perubahan iklim. Studi yang dilakukan pada batang pohon, misalnya, menunjukkan bahwa tahun 536 Masehi adalah tahun yang terdingin dalam 1.500 tahun.

Baca Juga: Syair Lampung Karam: Kesaksian Warga atas Kengerian Letusan Krakatau

Pertanyaan penting dalam semua ini adalah mengapa hal itu terjadi? Meskipun tidak ada jawaban pasti untuk bencana iklim tahun 536, satu teori kuat yang dikemukakan adalah letusan gunung berapi raksasa, karena debu yang terlempar ke atmosfer bisa menyebabkan peredupan cahaya.

Salah satu gunung kandidatnya adalah Krakatau, yang terletak di antara pulau Jawa dan Sumatra di Indonesia. Memang, Pustaka Raja Purwa (artinya “Kitab Raja-Raja Purba”) yang ditulis pada tahun 1869, menggambarkan adanya letusan sebuah gunung berapi purba.

Meskipun manuskrip ini mengacu pada tahun 416 Masehi dan bukan 535 Masehi, fakta bahwa manuskrip ini ditulis pada abad ke-19 dapat menjelaskan ketidakakuratan referensi waktu.

Tapi, mengapa letusan gunung berapi mempengaruhi suhu global? Ketika gunung berapi meletus, ia memuntahkan belerang, bismut, dan zat lain tinggi ke atmosfer. Di sana zat-zat tersebut "membentuk selubung aerosol yang memantulkan cahaya matahari kembali ke luar angkasa sehingga mendinginkan planet ini,” jelas Ann Gibbons di Science.