Permulaan Industri Kelapa Sawit, Kolonialisme Britania di Afrika Barat

By Galih Pranata, Jumat, 14 Januari 2022 | 12:00 WIB
Foto tahun 1897 yang diambil di pelabuhan Liverpool, ribuan barel bahan pembuat sabun, termasuk minyak kelapa sawit dan kacang yang diimpor dari Afrika Barat, sedang diturunkan dari kapal dan ditumpuk dalam barisan. (Henry Bedford Lemere/ Alamy)

Produsen industri juga mulai menciptakan produk sabun dan lilin dari minyak sawit. Busa yang dihasilkan oleh sabun berbasis minyak sawit lebih memuaskan, dan lilin tidak berbau saat dibakar.

Selain itu, minyak sawit juga sangat cocok untuk digunakan sebagai pelumas industri, untuk meminyaki bagian-bagian mesin dan dalam produksi pelat timah.

Baca Juga: Kelapa Sawit Bukan Satu-satunya Penyebab Hilangnya Hutan di Indonesia

William Lever dari Lever Brothers di Liverpool sangat ingin mengamankan lahan untuk konsesi kelapa sawitnya. Pengusaha Inggris itu yakin bahwa pendekatan industri yang lebih terkontrol untuk memproduksi minyak sawit akan memberikan dasar bagi perdagangan minyak sawit komersial. 

Pada awal 1900-an, Lever mencoba untuk bernegosiasi dengan Kantor Kolonial Inggris demi mengamankan tanah, guna mengembangkan konsesi di Sierra Leone, Nigeria dan Ghana (saat itu bagian dari Afrika Barat Britania).

Kantor Kolonial Britania di Afrika Barat, lantas mewaspadai permintaan Lever –mereka tidak ingin melihat perusahaan swasta memonopoli perdagangan di wilayah tersebut.

Namun, Level tidak terpengaruh dan menyerah begitu saja. Ia menerima undangan dari otoritas Belgia untuk membuka konsesi di Negara Bebas Kongo (sekarang Republik Demokratik Kongo).

Huileries du Congo Belge (Pabrik Minyak Kongo Belgia) didirikan pada tahun 1911 ketika Lever menandatangani perjanjian dengan pemerintah Belgia yang memberinya 750.000 hektar lahan untuk dikembangkan.

Rombongan kuli yang memegang gading gajah berdiri di depan pohon kelapa sawit. Foto itu diambil pada tahun 1909 di dekat Avakubi di distrik Haut-Uele di Kongo. (Herbert Lang & James P. Chapin/ American Museum of Natural History)

Meskipun proyek tersebut berhasil memperkenalkan sistem pabrik kelapa sawit yang lebih modern dengan alat mekanis, pembangunan infrastruktur memakan biaya dan lambat, seperti halnya mengekspor buah dan minyak kelapa sawit ke Eropa.

Usaha tersebut gagal menarik tenaga kerja yang cukup besar untuk mengelola pabrik, sehingga anak perusahaan tersebut bekerja sama dengan agen Belgia dalam merekrut secara paksa pria Kongo untuk bekerja.

Sampai pada tahun 1960-an, situasi politik yang memburuk di Afrika Barat pascakolonial menyebabkan penurunan ekspor minyak sawit, sementara industri minyak sawit Asia Tenggara malah terus berkembang pesat.

Nahas, para Insinyur dan peneliti yang pernah bekerja di Afrika Barat, lantas pergi ke Asia Tenggara untuk mendorong pembangunan dan memperluas sektor perkebunan rakyat yang membuat Afrika Barat semakin terpuruk.

Baca Juga: Studi: Kebun Sawit Baru Menghasilkan Emisi Dua Kali Lebih Banyak Dibanding yang Lama