Permulaan Industri Kelapa Sawit, Kolonialisme Britania di Afrika Barat

By Galih Pranata, Jumat, 14 Januari 2022 | 12:00 WIB
Foto tahun 1897 yang diambil di pelabuhan Liverpool, ribuan barel bahan pembuat sabun, termasuk minyak kelapa sawit dan kacang yang diimpor dari Afrika Barat, sedang diturunkan dari kapal dan ditumpuk dalam barisan. (Henry Bedford Lemere/ Alamy)

Nationalgeographic.co.id—Kelapa sawit sekarang dibudidayakan secara luas di sekitar daerah tropis untuk memenuhi permintaan global yang sangat besar akan minyak. Sebanyak 76 juta metrik ton sawit diproduksi tahun lalu di seluruh dunia.

Sebelum pertengahan abad ke-19, semua minyak sawit diproduksi secara tradisional dan manual, dengan tangan di wilayah Afrika Barat. Kelapa sawit dikaitkan erat dengan mata pencaharian penduduk lokal selama ribuan tahun.

Revolusi Industri menyebabkan lonjakan permintaan minyak sawit di Eropa, dan kebutuhan untuk mengamankan pasokan yang dapat diandalkan menyebabkan pengembangan perkebunan kelapa sawit. 

"Sepanjang era kolonial dan pasca perang, investasi asing mendorong ekspansi intensif perkebunan kelapa sawit dengan mengorbankan masyarakat adat, hutan, dan satwa liar," tulis Phillips.

Josie Phillips menulis kepada China Dialogue, dalam artikelnya berjudul An illustrated history of industrial palm oil, yang dipublikasikan pada 18 Februari 2021.

Kisah tentang kelapa sawit dimulai ketika orang Eropa tiba di pantai Guinea pada abad ke-15. konsumsi minyak sawit oleh penduduk lokal yang signifikan tidak luput dari perhatian orang-orang Eropa.

"Ketika para pedagang mulai memperdagangkan budak, dan mengirimkannya melintasi Atlantik, mereka membeli minyak kelapa sawit sebagai makanan untuk kargo manusia," tambahnya.

Kemudian, ketika perdagangan budak Atlantik dilarang pada tahun 1807, pemerintah Inggris mendorong para pedagang untuk memanfaatkan koneksi yang sudah ada sebelumnya dengan para pedagang di pedalaman Afrika Barat.

Inggris juga mengadopsi minyak sawit sebagai perdagangan alternatif di sana. Dorongan lebih lanjut meningkat pada tahun 1845, ketika pemerintah Inggris menghapuskan bea atas minyak sawit.

Pada tahun 1870-an, minyak kelapa sawit adalah ekspor utama banyak negara Afrika Barat. Tetapi produksi masih sepenuhnya bergantung pada kebun sawit semi-liar dan pemrosesan manual, yang berarti kualitas minyak sangat bervariasi, dan pasokannya agak tidak dapat diandalkan.

"Sementara itu, minyak sawit sempat menjadi bahan utama pelumas roda pada saat meletusnya Revolusi Industri di Eropa," ungkapnya.

Produsen industri juga mulai menciptakan produk sabun dan lilin dari minyak sawit. Busa yang dihasilkan oleh sabun berbasis minyak sawit lebih memuaskan, dan lilin tidak berbau saat dibakar.

Selain itu, minyak sawit juga sangat cocok untuk digunakan sebagai pelumas industri, untuk meminyaki bagian-bagian mesin dan dalam produksi pelat timah.

Baca Juga: Kelapa Sawit Bukan Satu-satunya Penyebab Hilangnya Hutan di Indonesia

William Lever dari Lever Brothers di Liverpool sangat ingin mengamankan lahan untuk konsesi kelapa sawitnya. Pengusaha Inggris itu yakin bahwa pendekatan industri yang lebih terkontrol untuk memproduksi minyak sawit akan memberikan dasar bagi perdagangan minyak sawit komersial. 

Pada awal 1900-an, Lever mencoba untuk bernegosiasi dengan Kantor Kolonial Inggris demi mengamankan tanah, guna mengembangkan konsesi di Sierra Leone, Nigeria dan Ghana (saat itu bagian dari Afrika Barat Britania).

Kantor Kolonial Britania di Afrika Barat, lantas mewaspadai permintaan Lever –mereka tidak ingin melihat perusahaan swasta memonopoli perdagangan di wilayah tersebut.

Namun, Level tidak terpengaruh dan menyerah begitu saja. Ia menerima undangan dari otoritas Belgia untuk membuka konsesi di Negara Bebas Kongo (sekarang Republik Demokratik Kongo).

Huileries du Congo Belge (Pabrik Minyak Kongo Belgia) didirikan pada tahun 1911 ketika Lever menandatangani perjanjian dengan pemerintah Belgia yang memberinya 750.000 hektar lahan untuk dikembangkan.

Rombongan kuli yang memegang gading gajah berdiri di depan pohon kelapa sawit. Foto itu diambil pada tahun 1909 di dekat Avakubi di distrik Haut-Uele di Kongo. (Herbert Lang & James P. Chapin/ American Museum of Natural History)

Meskipun proyek tersebut berhasil memperkenalkan sistem pabrik kelapa sawit yang lebih modern dengan alat mekanis, pembangunan infrastruktur memakan biaya dan lambat, seperti halnya mengekspor buah dan minyak kelapa sawit ke Eropa.

Usaha tersebut gagal menarik tenaga kerja yang cukup besar untuk mengelola pabrik, sehingga anak perusahaan tersebut bekerja sama dengan agen Belgia dalam merekrut secara paksa pria Kongo untuk bekerja.

Sampai pada tahun 1960-an, situasi politik yang memburuk di Afrika Barat pascakolonial menyebabkan penurunan ekspor minyak sawit, sementara industri minyak sawit Asia Tenggara malah terus berkembang pesat.

Nahas, para Insinyur dan peneliti yang pernah bekerja di Afrika Barat, lantas pergi ke Asia Tenggara untuk mendorong pembangunan dan memperluas sektor perkebunan rakyat yang membuat Afrika Barat semakin terpuruk.

Baca Juga: Studi: Kebun Sawit Baru Menghasilkan Emisi Dua Kali Lebih Banyak Dibanding yang Lama