Berkat Fosil Berusia 200 Juta Tahun, Evolusi Kupu-kupu Terungkap

By , Sabtu, 13 Januari 2018 | 11:00 WIB

Mendengar kata kupu-kupu atau ngengat, biasanya yang terbayang serangga cantik dengan sayap berbagai warna. Selain sayap yang elok, mereka juga mempunyai belalai panjang untuk menghisap nektar bunga.

Ternyata belalai panjang tersebut telah dimiliki sejak lama oleh nenek moyang kupu-kupu dan ngengat. Sebuah temuan terbaru yang dilakukan peneliti asal Eropa membuktikan hal ini.

Fakta ini bermula dari penemuan fosil kupu-kupu yang ditemukan di Jerman. Dari penelitian yang dilakukan, fosil itu diprediksi berusia lebih dari 200 juta tahun.

Temuan menarik yang sudah diterbitkan di jurnal Science Advances, Rabu (10/1/2018) itu menandai temuan kupu-kupu tertua di bumi sekaligus melihat evolusi kupu-kupu dan ngengat.

Baca juga: Peneliti Buktikan Makhluk Mitologi Unicorn Nyata

Penemuan fosil langka dan berharga itu bisa dikatakan tak sengaja oleh para ahli pada 2012 saat meneliti batuan purba.

Paul K. Strother, peneliti yang menemukan fosil tersebut, awalnya menggunakan larutan asam untuk mengurai semua materi pada batuan hingga tersisa sejumlah fragmen kecil.

Mengira fragmen tersebut adalah sebuah fosil langka, Strother langsung menuju laboratorium rekannya Bas van de Schootbrugge, seorang ahli paleontologi mikrofosil di Jerman.

Saat itulah tim peneliti menemukan bagian penting yang merujuk pada kupu-kupu dan ngengat modern saat ini. Jika dilihat dengan mata telanjang, bagian itu seperti tumpukan debu.

Bagian yang mirip debu itu kemudian diteliti dengan mencampurkan gliserol dan air. Setelah itu, dengan menggunakan jarum seukuran rambut hidung manusia, peneliti berhasil mendorong bagian yang mirip belalai ke bawah mikroskop elektron.

Baca juga: Berusia 3,6 Juta Tahun, Inilah Rangka Leluhur Manusia yang Terlengkap

"Saya sangat terkejut saat menemukan sisa-sisa mikroskopis organisme ini, ada bagian yang mirip dengan belalai atau hidung panjang yang dimiliki kupu-kupu," kenang Strother yang merupakan seorang ahli serbuk sari prasejarah dan spora dari Boston College, dilansir dari Washington Post, Rabu (10/1/2018).

Strother juga berkata, saat dia melakukan pengamatan sayap kupu-kupu tersebut ditutupi sisik kecil yang tumpang tindih.