Tren Hidup di Apartemen Meningkat, Bagaimana Orangtua dengan Anak Kecil Beradaptasi?

By , Selasa, 23 Januari 2018 | 18:00 WIB

Di Australia, semakin banyak orang hidup di apartmen. Di satu sisi, kota kompak (compact city) memang memberi banyak manfaat. Namun di sisi lain, hidup berdekatan satu sama lain juga menghadirkan tantangan.

Pesatnya pembangunan apartemen dalam beberapa dekade terakhir membuat keluhan terkait kebisingan dan percekcokan di perkotaan Australia meningkat. Rumah tangga dengan anak-anak paling sering mengalami ketegangan-ketegangan semacam itu. Mereka adalah salah satu demografi penghuni apartemen yang tumbuh paling cepat.

Analisis terhadap data sensus terakhir menunjukkan, keluarga dengan anak-anak di bawah usia 15 tahun merupakan 25% populasi apartemen Sydney.

Desain apartemen dan penerimaan budaya keluarga di kota vertikal tidak dibarengi pergeseran bentuk-bentuk perumahan ini. Bayangan akan kehidupan di rumah tapak masih berlaku. Para perancang dan pengembang apartemen mereproduksi bayangan itu dengan mengabaikan anak-anak dalam perancangan dan pemasaran gedung.

Akibatnya, karena suara anak-anak sulit diprediksi atau dikontrol, perubahan demografi apartemen adalah persoalan bagi para perencana maupun penghuni.

Berusaha menjadi orang tua yang baik dan tetangga yang baik

Penelitian saya mengulik pengalaman sehari-hari keluarga yang menempati apartemen di Sydney. Penelitian ini mengungkapkan bahwa para orang tua yang berusaha membuat kehidupan apartemen berjalan baik harus jungkir balik secara emosional.

Hidup di apartemen sering menciptakan dilema emosional antara menjadi orang tua yang baik dan menjadi tetangga yang baik. Para orang tua ingin membiarkan anak-anak menjadi anak-anak, tetapi selalu khawatir kalau-kalau membikin kesal tetangga.

(Baca juga: Mengapa Anak-anak Butuh Risiko, Rasa Takut, dan Keriangan Ketika Bermain?)

Kota-kota memiliki berlapis-lapis suara yang berlainan, tetapi rumah dirancang sebagai ruang privat yang damai dan tenang. Suara-suara yang menyusup dianggap kebisingan. Tetangga yang “baik” di apartemen tentu tak mau ada suara yang merembes ke tetangganya.

Ini nyaris mustahil ketika ada anak-anak (apalagi di apartemen yang dirancang dengan buruk). Anak-anak kerap menangis di malam hari dan berlari-lari di siang hari.

Para orang tua mengalami susahnya melatih pola tidur bayi (sleep training) di apartemen. Mereka ingin menjadi tetangga yang berperasaan, sehingga cemas dan merasa bersalah ketika anak-anak mereka tidak bisa diajak bekerja sama.

Tak sedikit yang menerima surat kemarahan dari para tetangga, atau mendengar mereka berteriak-teriak dan memukul-mukul dinding dan langit-langit sebagai tanda protes tengah malam.

Kecemasan orang tua tidak terbatas pada malam hari. Memantau anak-anak bermain untuk mengurangi kegaduhan, terasa seperti membatasi kesenangan.