Orang tua mencoba banyak strategi untuk menanggulangi kegaduhan, misalnya memasang karpet dan tikar busa, membatasi beberapa aktivitas tertentu, menutup jendela atau menutup lubang ventilasi. Harapannya adalah suara anak-anak tidak menjadi bahan protes di apartemen.
(Baca juga: Orangtua Terlalu Protektif, Anak Malah Membangkang)
Takut anak-anak berisik selalu menjadi yang pertama melintas dalam benak. Menyadari pengawasan dan penilaian moral (yang kadang-kadang dilakukan secara terbuka) tetangga mereka, mereka mengubah rutinitas rumah tangga mereka dan memodifikasi rumah mereka sebisa mungkin.
Orang membutuhkan apartemen yang dibuat untuk keluarga
Perlu ada perubahan yang lebih luas. Keluarga yang hidup bersama anak-anak di apartemen tidaklah sesuai dengan norma yang menggambarkan rumah sebagai tempat ketenteraman; yang mendefinisikan “tetangga yang baik” sebagai tetangga yang tenang; dan yang menempatkan anak-anak di tempat lain (rumah-rumah terpisah). Dan mereka dihadang norma semacam itu dalam hunian yang menghambat upaya mereka untuk mengendalikan bunyi.
Keluarga yang hidup di apartemen aktif menjalankan strategi untuk membuat kehidupan sehari-hari “berjalan dengan baik”. Tetapi tak banyak orang yang bisa berubah. Problem lebih luas desain dan performa akustik apartemen yang buruk masih ada. Norma-norma kultural and teknis harus digeser jika paradigma kebijakan konsolidasi urban diharapkan bisa memenuhi kebutuhan sebuah populasi yang beragam.
Sophie-May Kerr, PhD Candidate in Human Geography, University of Wollongong
Sumber asli artikel ini dari The Conversation. Baca artikel sumber.