Di Wilayah Honduras yang Dikuasai oleh Geng, Menjadi Tua adalah Keistimewaan, Bukan Hak

By , Jumat, 9 Februari 2018 | 18:00 WIB

Di tepi San Pedro Sula, sebuah kota di Honduras utara dikelilingi oleh rawa-rawa dan ladang tebu, terletak distrik padat penduduk bernama Planeta. Di sini, menara gereja menandai sudut-sudut jalan tak beraspal di tengah kawasan yang dikuasai geng—satu blok mungkin dikuasi oleh salah satu geng, dan tiga blok selanjutnya dikuasai oleh lawan-lawannya.

Pancho, bos geng khusus ini, membagikan pesanan hari itu sementara pengawalnya, Wirro, terus berjaga dari pohon. (Tomas Ayuso/National Geographic)

Petugas polisi bertopeng berpatroli di jalan-jalan dengan pelindung tubuh berlapis debu, dan jari berada di pelatuk senjata mereka. Tidak ada sekolah dan hanya ada sedikit bisnis di sini. Akibatnya, warga tidak memiliki pilihan selain melewati wilayah ini dalam perjalanan panjang mereka ke bagian kota yang lebih makmur, mengambil risiko terjebak dalam baku tembak.

Baca juga: Potret Kehidupan di Kota dengan Udara Beracun

Calon anggota geng dipersiapkan dari usia muda, kata Ayuso. Mereka pertama kali diminta untuk menjalankan tugas kecil, kemudian diberi tugas lainnya secara bertahap. Mereka baru dilantik sebagai anggota geng setelah melalui ritus perjalanan yang melelahkan. (Tomas Ayuso/National Geographic)

Di tempat-tempat seperti ini, para generasi mudanya telah menyadari bahwa di Honduras, siklus kekerasan, korupsi, dan kemiskinan yang terus berulang, telah merampas hak mereka untuk menua.

Baca juga: Galeri Foto: Kehidupan Pengungsi dan Migran di Kamp-kamp Darurat

Dua rekrutan muda beristirahat di sebuah rumah aman yang tersembunyi dari matahari Karibia yang terik. (Tomas Ayuso/National Geographic)

Saya tiba di sini untuk melanjutkan proyek yang dimulai pada 2015, yaitu mendokumentasikan migrasi massal penduduk Honduras yang melakukan perjalanan berbahaya menuju Amerika Serikat.

Baca juga: Sisi Kelam Perang Saudara di Republik Afrika Tengah

Penegak hukum geng bertukar senjata sebelum berkeliling di wilayah kekuasaannya. Selama berpatroli, mereka ibarat garis pertahanan melawan serangan geng lawan, memantau siapa yang memasuki wilayah mereka, dan sebagai alarm jika polisi datang. (Tomas Ayuso/National Geographic)

Saya ingin lebih memaham faktor-faktor yang berperan, jadi saya menuju ke sumber eksodus. Sebelum tiba di Planeta, saya berasumsi bahwa lingkungan itu akan dikuasai oleh penjahat yang kejam dan bertangan besi. Kenyataannya, saya justru menemukan penduduk lokal hidup di dalam tenang bersama para anggota geng yang merupakan tetangga, anak laki-laki, dan sepupu mereka.

Baca juga: Kisah INRI, Pria yang Mengklaim Dirinya Sebagai Reinkarnasi Yesus Kristus

Seorang pria tidur di jalan di bawah iklan senjata. Selama setengah dekade San Pedro Sula adalah kota paling kejam di dunia. Perang antar geng yang terjadi di ruang publik membuat ribuan orang tewas dan memicu eksodus dari Honduras. Industri keamanan swasta telah tumbuh pesat sejak saat itu. (Tomas Ayuso/National Geographic)

Sebagian besar anggota geng yang saya temui berusia di bawah 16 tahun dan kehidupan mereka dipenuhi dengan kekerasan. Mereka menceritakan bagaimana saat mereka menghadapi lawan untuk mempertahankan wilayah. Tawuran geng baru-baru ini terjadi telah menewaskan enam remaja, yang tubuhnya ditemukan di sungai, dalam keadaan termutilasi.

Baca juga: Potret Kehidupan Penghuni "Bilik Peti Mati", Ironi di Balik Gemerlapnya Kota Hongkong

Penduduk setempat dan anggota geng yang hidup saling berdampingan merupakan hal penting dalam kehidupan sehari-hari, kata Ayuso. Banyak penduduk yang terkait dengan mereka dan, pada tingkat tertentu, percaya bahwa geng tersebut menyediakan keamanan bagi lingkungan yang dilupakan. (Tomas Ayuso/National Geographic)

Saya bertemu salah satu anggota geng yang telah menjadi yatim piatu sejak kecil setelah pria bertopeng menculik ibunya. Saya bertanya, siapa yang mengasuhnya. Tidak ada, katanya. Neneknya menyisihkan makanan kapan pun ia bisa, tapi selain itu, dia memulung di jalan-jalan ini sendirian sampai geng merekrutnya. Saat ini ia hanya dikenali dengan nama gengnya, Furia.

Baca juga: Potret Kehidupan Para Perempuan Muda di Jalur Gaza

Moises dan ayahnya berdiri di sebidang kecil ladang jagung milik keluarga itu. Ayah Moises memintanya untuk meninggalkan negara itu sebelum dia terbunuh atau, lebih buruk lagi, direkrut menjadi geng. Begitu seseorang bergabung dengan satu geng, satu-satunya jalan keluar adalah kematian. (Tomas Ayuso/National Geographic)

Yang paling penting, saya dikejutkan oleh Moises, yang baru berusia 17 tahun. Kami langsung nyambung. Begitu mendapatkan kepercayaan masing-masing, kami mendaki bukit tandus di tengah lingkungan sekitar. Jauh dari jalanan yang hiruk pikuk, dia berbagi kemelut batin yang membuatnya terjaga di malam hari.

Baca juga: Keruntuhan Zimbabwe yang Pernah Menjadi Negara Kaya di Afrika

Moises pernah dibujuk untuk bergabung dengan geng teman masa kecilnya sejak berusia 10 tahun. Dia tidak akan pernah mempertimbangkannya, katanya, jika bukan karena bertahun-tahun disiksa oleh polisi dan hampir tidak bertahan hidup dengan geng-geng di lingkungan sekitar. Bergabung, pikirnya, mungkin hanya salah satu cara untuk bertahan hidup.

"Di tengah krisis yang dia hadapi di lingkungannya yang berantakan, Moises dikejutkan oleh pacarnya yang memberitahukan kepadanya bahwa dia akan segera menjadi ayah. Keheningan menguasai satu ruangan," tulis Ayuso. (Tomas Ayuso/National Geographic)

Orang tuanya, bekas petani yang kini pindah ke kota dengan harapan mendapat kehidupan yang lebih baik untuk anak-anaknya, mendorong Moises untuk meninggalkan negara itu untuk mendapatkan kesempatan hidup di luar negeri. Tapi Moises bimbang. Kekasihnya, yang berusia 16 tahun, baru-baru ini mengejutkannya dengan kabar bahwa ia akan segera menjadi seorang ayah.

Baca juga: Anak-anak Ini Dididik untuk Hidup Layaknya Tentara

Leo kebetulan mendengar di kantin bahwa dia berasal dari sebuah lingkungan di distrik Planeta. Remaja 16 tahun itu kemudian harus menghadapi pemilik yang bekerja untuk sebuah geng di lingkungan yang sama. "Leo, yang bukan anggota geng, tidak mundur. Dia digantung dan diseret di belakang truk. Ibunya memilih peti mati terbuka sehingga orang bisa melihat 'apa yang mereka lakukan terhadap anaknya', "tulis Ayuso. (Tomas Ayuso/National Geographic)