Di Balik Serangan Teroris ‘Lone Wolf’

By , Jumat, 16 Februari 2018 | 14:00 WIB

Suasana ibadah misa pagi di Gereja Santa Lidwina, Bedog, Sleman, Yogyakarta, yang tenang seketika jadi mencekam.

Dilansir dari Kompas.com, pada Minggu (11/2), sekitar pukul 08.00 WIB, pria berkaus hitam masuk ke dalam gereja. Ia membawa pedang panjang berukuran satu meter.

Pria itu menyerang gereja dengan membabi buta. Selain menghancurkan patung dan perabot di altar, ia juga melukai tiga umat dan Romo Prier yang memimpin misa. Aksinya itu tentu saja membuat jemaat takut dan berhamburan keluar gereja.

Setelah 20 menit menyebar teror, Suliyono, pelaku penyerangan tersebut, berhasil diamankan setelah tembakan peluru polisi bersarang di kakinya.

Gereja Lidwina yang menjadi target penyerangan. (Wijaya Kusuma/Kompas.com)

Kepala Divisi Humas Polri Irjen Setyo Wasisto mengatakan, insiden di hari Minggu tersebut sesuai dengan pola serangan teroris yang telah terjadi di beberapa negara di dunia.

Suliyono merupakan penganut Islam radikal yang ingin bergabung dengan ISIS di Suriah dan melakukan ‘jihad’. Polisi menemukan bahwa Suliyono telah mengajukan pembuatan paspor hingga tiga kali untuk perjalanannya ke Suriah. Namun, permohonannya tersebut ditolak oleh pihak imigrasi karena dokumen persyaratan tidak lengkap.

Saat bersekolah di Sulawesi, Suliyono juga sempat bergabung dengan organisasi keagamaan yang radikal.

(Baca juga: ISIS Mulai Tanamkan Pengaruh di Indonesia)

Meskipun begitu, polisi tidak menemukan hubungan Suliyono dengan kelompok ekstremis. Setyo memastikan, pria berusia 22 tahun itu melakukan aksinya sendirian atau lone wolf.

"Dia dapat pemahaman yang keliru. Dia belajar dari internet kemudian ingin melaksanakannya dari dorongan sendiri," kata Setyo.

Si penyerang solo

Istilah lone wolf pertama kali dipopulerkan oleh advokat supremasi, Alex Curtis dan Tom Metzger pada 1990-an. Metzger menggambarkan lone wolf sebagai “pejuang yang beraksi sendirian atau seseorang dalam kelompok kecil yang menyerang dan menargetkan pemerintahan”.