Ilmuwan Kembangkan Cara Atasi Kerusakan Otak Penderita Stroke

By , Kamis, 22 Februari 2018 | 14:00 WIB

Saat seseorang mengalami stroke, biasanya terjadi kerusakan pada otaknya. Hal inilah menyebabkan sebagian fungsi tubuh berhenti.

Namun, kini para ilmuwan mengembangkan obat untuk "menguatkan" otak bagi penderita stroke. Para peneliti mengklaim bahwa cara ini memungkinkan otak penderita stroke kembali menguat sendiri.

Menguatkan kembali otak yang dimaksud di sini adalah mengubah koneksi antar-neuron otak. Seperti yang kita ketahui, untuk melakukan pekerjaannya, otak kita dihubungkan oleh neuron.

(Baca juga: Inilah Makanan yang Mempercepat Penyakit Stroke)

Saat terjadi kerusakan pada suatu bagian otak, maka terjadi penghentian koneksi. Nah, "menguatkan" otak di sini berarti mengubah atau mengganti koneksi neuron di bagian yang rusak dengan koneksi neuron di bagian otak lain.

Dengan begitu, tugas yang seharusnya dilakukan oleh daerah yang rusak dapat diambil alih oleh daerah otak lain.

Kemampuan otak untuk menguat ini disebut dengan "plasisitas otak", yaitu kemampuan otak melakukan reorganisasi dalam bentuk adanya interkoneksi baru pada saraf. Kemampuan ini sendiri berlangsung sepanjang hidup manusia.

Hanya saja, kemampuan ini menurun seiring bertambahnya usia seseorang.

Penelitian ini, mempelajari kemampuan luar biasa otak muda untuk "menguat kembali". Untuk itu, para peneliti melihat anak-anak dan remaja yang menderita stroke saat masih bayi.

Stroke saat bayi memang bukanlah kasus umum. Kasus semacam ini hanya terjadi 1 dibanding 4.000 kelahiran.

Elissa Newport, profesor neurologi di Georgetown University school of medicine, AS kemudian merekrut 12 peserta yang berusia 12 hingga 25 tahun. Semua peserta tersebut pernah mengalami stroke saat bayi.

"Apa yang Anda lihat di bagian otak kanan, yang tidak mengendalikan bahasa pada orang sehat, tampaknya mampu mengambil alih tugas bahasa jika Anda kehilangan otak kiri," ujar Newport dalam acara American Association for the Advancement of Science di Texas, AS dikutip dari The Guardian, Senin (19/02/2018).

"Ini tidak terjadi pada orang dewasa," imbuhnya.