Darurat Perdagangan Satwa Ilegal di Indonesia, Begini Kondisinya

By , Jumat, 9 Maret 2018 | 08:00 WIB

Indonesia dengan wilayahnya yang luas, merupakan surganya beragam satwa liar untuk hidup. Saat ini, terdapat 566 kawasan lindung yang sudah ditetapkan untuk menjaga sejumlah spesies dilindungi. Sayangnya, tak hanya satwa dilindungi yang terus terancam kepunahan karena aktivitas manusia, terutama perburuan dan perdagangan ilegal. Tetapi juga, satwa liar yang tidak dilindungi turut diburu dengan kuantitas berlebihan.

Dwi Adhiasto, peneliti dan ahli biokriminologi program Bangun Indonesia untuk Jaga Alam demi Berkelanjutan (BIJAK) USAID mengatakan, perdagangan ilegal makin marak, terutama dengan majunya teknologi. Modus dan taktik pemburu beserta pedagang ilegal terus berkembang. Di antara mereka, melakukan simbiosis mutualisme, saling mendukung demi ketersediaan pemasokan barang dagangan. Pemetaan rantai kejahatan pemburu hingga pedagang dan penampung besar, kata Dwi, cukup rumit. Untuk kelas penampung besar hingga eksportir, terorganisir rapi.

“Biasanya etnis tertentu, bisnis keluarga dengan tujuan memonopoli,” ujarnya di sela diskusi Perdagangan Ilegal Satwa Dilindungi Ada di Sekitar Kita yang diselenggarakan USAID dan KLHK dalam peringatan Hari Hidupan Liar Sedunia 2018 di Djakarta Theater, Sabtu (03/3/2018).

Artikel terkait: Inikah Masa Terakhir Kita Melihat Burung di Indonesia?

Saat ini, perdagangan satwa tak hanya marak untuk hewan yang dilindungi seperti gajah, harimau, burung rangkong, atau trenggiling. Tetapi juga, hewan yang diperbolehkan seperti ular, kura-kura air tawar, dan koral. “Koral dan phyton juga besar, pemburu dan penampung mengikuti pasar jual apa saja, mereka menyiasati,” ujarnya lagi.

Dwi mengatakan, meski diperbolehkan tetapi para pedagang ini kemaruk, berusaha mendapatkan untung lebih besar dengan mengakali aturan yang diperbolehkan pemerintah. Ia mencontohkan, taktik atau siasat mereka dengan memanipulasi dokumen, misalnya mengelabui jumlah, menambah kapasitas, atau memalsukan.

Menurut Dwi, saat ini banyak satwa yang masuk bursa perdagangan merupakan jenis terancam punah. Ia mencontohkan, untuk burung terdapat 140 jenis, mamalia 63 jenis, reptil 21 jenis. Biasanya, satwa tersebut dikoleksi atau dijadikan bahan obat tradisional, kecantikan, juga keyakinan.

Baca juga: Perdagangan Satwa Liar Semakin Mengkhawatirkan

Untuk satwa yang tinggi diperdagangkan bagian tubuhnya antara lain gajah, harimau, burung enggang gading, dan trenggiling. Biasanya, dijual di pasar domestik dan diselundupkan ke luar negeri seperti Filipina, Thailand, China, Timur Tengah dan Eropa.

“Upaya pemerintah mencegah penyelundupan sudah baik tetapi masih kurang, mengingat kondisi geografis Indonesia, serta modus perdagangan yang licin,” ujarnya.

Gajah sumatera yang berada di CRU Sampoiniet, Kabupaten Aceh Jaya. (Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia)

Menurutnya, polisi, jaksa, hakim harus meningkatkan kapasitas dan memperbanyak referensi lapangan untuk menjatuhkan hukuman setimpal pada pelaku kejahatan. “Seharusnya, hukuman juga dibedakan antara membunuh harimau dengan nuri atau kakatua,” ujar lulusan John Jay College ini.

Pemerintah Amerika Serikat melalui USAID berkomitmen menjaga dan melanjutkan kemitraan, melindungi satwa liar. “Perdagangan satwa liar ilegal tidak hanya merugikan keseimbangan ekosistem, tetapi juga masyarakat yang bergantung pada hutan juga sektor pariwisata dan lainnya,” ujar Mattew Burton, Direktur Lingkungan Hidup USAID.

Burton menyampaikan, perdagangan liar tidak hanya berdampak langsung secara ekonomis tapi juga pada kedaulatan Indonesia. Karena, penjahat lintas negara telah melanggar hukum negara ini.