Darurat Perdagangan Satwa Ilegal di Indonesia, Begini Kondisinya

By , Jumat, 9 Maret 2018 | 08:00 WIB

Indonesia adalah rumah bagi banyak spesies penting seperti harimau sumatera, badak sumatera, burung rangkong, juga orangutan yang menopang kesehatan ekosistem. “Perburuan dan deforestasi menyebabkan penurunan tajam populasi spesies luar biasa yang merupakan ciri khas Indonesia,” terangnya.

Perburuan trenggiling untuk diambil sisiknya terus terjadi hingga saat ini. (Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia)

Laporkan

Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan dan Kehutanan, Wiratno menyatakan perdagangan satwa liar harus menjadi hal penting dan merupakan kejahatan luar biasa. Kolaborasi semua pihak, termasuk swasta, harus berjalan. Wiratno juga meminta pengelola media sosial ikut mencegah. “Pemerintah membuka call center untuk masyarakat yang ingin melaporkan atau melihat perdagangan satwa liar di 0822 9935 1705,” jelasnya.

Even Alex Chandra, Head of Education, Human Resources & Customer Protection Division OLX mengatakan, lembaganya sudah berupaya mengantisipasi dan mencegah iklan penjualan satwa liar dilindungi. “Kami langsung cabut iklannya, termasuk bahan awetan seperti yang dicantumkan undang-undang, diminta atau tidak,” ujarnya.

Pihaknya juga menyediakan form laporan masyarakat jika ada iklan penjualan yang lolos. Hal lain yang masih membingungkan menurut dia adalah wujud dan nama hewan yang dilindungi. Dalam undang-undang disebutkan nama latinnya, sementara pengiklan atau masyarakat memakai nama populer.

“Karena kami juga berbasis keyword, kadang pengiklan menulisnya dengan nama alay atau yang tidak ada di kata kunci. Kami terbuka menerima laporan,” ujarnya.

Enggang gading yang di penghujung 2015, statusnya ditetapkan Kritis akibat perburuan yang tinggi. (Yokyok Hadiprakarsa/Rangkong Indonesia)

Advokasi

Banyaknya satwa liar dilindungi yang lolos diperjualbelikan di luar negeri tentunya menimbulkan kerugian besar. Tak hanya kehilangan kuantitas, tapi juga jenis, nilai ekonomis, dan tenaga. Seperti upaya pemulangan orangutan dari Thailand yang sampai saat ini masih alot. Terutama benturan aturan hukum negara bersangkutan. “Masih ada enam individu, satu sudah selesai proses hukumnya, lima masih negosiasi,” ujar Desy Satya, Kepala Seksi Pengawetan in Situ KLHK.

Menurut Desy, ketentuan di Thailand, proses hukum untuk satwa liar yang ditemukan dan tidak diketahui pemiliknya harus menunggu lima tahun. Ini pula yang terjadi pada lima individu orangutan kecil yang ditemukan setelah diperdagangkan. “Ini akan menyulitkan untuk pelepasliaran, karena lima tahun lagi mereka sudah besar dan makin sulit diliarkan,” ujarnya. Saat ini Desy dan tim dari KLHK sedang mengupayakan perubahan untuk kebijakan tersebut.

Taymur yang akhirnya pulang ke Indonesia, 17 April 2017. Dua tahun lamanya ia berada di Kuwait, sejak 2015, akibat diperdagangkan secara ilegal skala internasional. (BOSF/Maryos Tandang)

Dia pun menjelaskan, kesulitan yang ditemui untuk pemulangan satwa lain di luar negeri adalah biaya pemulangan yang harus ditanggung negara asal. “Kami baru saja mendapatkan surat dari Hong Kong yang mengabarkan lebih dari 1.900 ekor kura-kura moncong babi yang lolos diperdagangkan akan direpatriasi,” jelasnya.

Acara diskusi ini juga menghadirkan Wulan Pusparini, ahli konservasi WCS dan pegiat Garda Satwa Davina Veronica. Mereka menyerukan perlindungan satwa liar dilindungi. “Harimau sumatera ini, di seluruh dunia hanya dia yang mempunyai keunikan secara morfologi dibanding harimau lain. Hanya tersisa satu jenis ini, dua jenis harimau (jawa dan bali) sudah punah,” ujar Wulan.

Sementara Davina mengatakan, bumi ini merupakan rumah bagi satwa dan tumbuhan. Seyogyanya, manusia berbagi tempat untuk mereka. Alasan ekonomi, pembangunan, pertambangan, perkebunan kelapa sawit, permukiman, serta kurang sadarnya masyarakat merupakan ancaman bagi kehidupan satwa liar yang ada.

Artikel ini sudah pernah tayang di Mongabay.co.id. Baca artikel sumber.