Korupsi Memperparah Wabah Malaria di Angola

By , Jumat, 9 Maret 2018 | 11:00 WIB

Hujan lebat, kondisi kotor, kekurangan obat dan korupsi, bergabung untuk membuat malaria menjadi wabah mematikan di Angola.

Sejak awal tahun, lebih dari 300 ribu kasus malaria dilaporkan di seluruh negeri. Setidaknya ada seribu orang yang meninggal akibat penyakit ini.

Menurut para ahli, banyaknya korban menunjukkan adanya kemiskinan dan kegagalan pemerintah. Ini merupakan paradoks karena Angola merupakan salah satu produsen minyak utama di Afrika.

“Jumlahnya sangat mengerikan,” kata Jose Antonio, Direktur Kesehatan Masyarakat di Kilamba Kiaxi, sebuah pemukiman miskin di ibu kota.

(Baca juga: Kisah Suku Banjar Menjadi Leluhur Orang Madagaskar dan Komoro)

Provinsi Luanda adalah yang terparah – dengan 75.225 kasus malaria dan 117 kematian. Diikuti oleh Benguela di wilayah Barat Angola, di mana terdapat 43.751 kasus dan 213 kematian.

Pada 2017, tujuh ribu orang meninggal akibat penyakit tersebut.

Afrika sub-Sahara menyumbang 90% kasus malaria di seluruh dunia. Sebanyak 92% kematian disebabkan oleh penyakit yang disebarkan melalui nyamuk terinfeksi ini.

Malaria menjadi penyebab utama kematian dini di Angola. Setiap tahunnya, rumah sakit umum dibanjiri oleh pasien yang berjuang melawan penyakit ini.

Fasilitas kesehatan tidak tersedia

Di klinik Cajueiros, Luanda, lusinan ibu dan anak-anaknya mengantre untuk konsultasi medis.

“Setiap hari, kami mencatat ada sekitar 15-20 kasus malaria di rumah sakit,” kata Miguel Sebastiao, dokter anak di daerah tersebut.

Rosa Eduarte, salah seorang ibu yang ingin memeriksakan anaknya mengatakan, klinik tidak pernah memberikan obat untuknya. “Kita bisa mendapat konsultasi gratis, tapi mereka hanya memberikan resep obat dan meminta kita menebusnya sendiri di apotek,” katanya.

Karena kondisi keuangannya yang genting, Eduarte tidak memiliki pilihan lain. Ia memutuskan untuk mengunjungi rumah sakit umum yang bahkan sering kekurangan persediaan dasar, seperti kapas, jarum suntik, sarung tangan dan obat-obatan.

“Kami tidak memiliki tablet di sini,” ujar Marcelina Paulina, perawat di rumah sakit Palanca Dona Paulina di Luanda.

Akibat keterbatasan tersebut, banyak warga Angola kehilangan nyawanya. Termasuk saudara perempuan Ana Joaquina yang meninggal akhir Februari lalu.

“Dokter mengatakan, ia terkena malaria. Namun, rumah sakit tidak memiliki uang untuk membeli obat-obatan. Saudara perempuanku pun meninggal,” cerita Joaquina.

(Baca juga: Viral Video Penyelam Berenang di "Lautan Plastik" Bali, Ini Penjelasan Ahli)

Sama seperti layanan publik Angola lainnya, fasilitas kesehatan telah mengalami kekurangan sumber daya sejak krisis ekonomi menyerang negara ini. Terutama ketika harga minyak turun drastis pada 2014.

Di 2016, terjadi wabah demam kuning yang membunuh lebih dari 400 ribu orang. Peristiwa tersebut menyoroti kegagalan pemerintah dalam mengelola pelayanan kesehatan.

Korupsi

Menurut para dokter dan politisi oposisi, keadaan semakin buruk dengan adanya korupsi yang merajalela.

“Bagi para manajer rumah sakit, lebih mudah membeli mobil mewah dibanding persediaan obat-obatan,” kata Maurilio Luyele, dokter sekaligus anggota parlemen.

Bulan lalu, tiga pejabat senior dihukum delapan tahun penjara setelah menggelapkan dana dua juta dollar yang seharusnya digunakan untuk melawan malaria.

Kubangan sampah yang mejadi "surga" bagi nyamuk (Ampe Rogerio/AFP)

Beberapa tempat di Luanda telah berubah menjadi tempat pembuangan terbuka karena pemerintah daerah memiliki hambatan dengan anggaran yang terbatas.

Selama musim hujan, dari September hingga Mei, jalanan dan ruang publik penuh dengan sampah mengambang – surga bagi para nyamuk.

Menyadari krisis ini, pemerintahan presiden baru Joao Lourenco, meluncurkan rencana darurat untuk melawan wabah malaria dengan fumigasi serangga dan pembagian kelambu pada para penduduk.