Teripang, Si Buruk Rupa dari Perairan Dangkal yang Bernilai Ekonomi Tinggi

By , Senin, 12 Maret 2018 | 11:00 WIB

Mengingat lokasi yang mudah ditemukan oleh nelayan dan juga karena bernilai ekonomi tinggi, teripang menjadi mudah dieksploitasi hingga diperdagangkan dengan volume yang besar. Kondisi itu, membuat spesies teripang terus mengalami praktik tangkapan berlebih (overfishing) dari waktu ke waktu.

“Teripang pasir diambil secara terus menerus dari alam tanpa memperhatikan umur dan ukuran, dari anakan muda sampai dewasa. Hal ini dilakukan untuk memenuhi tingginya permintaan pasar,” ungkap dia.

Dengan kemudahan lokasi untuk menangkap, Dirhamsyah menambahkan, eksploitasi semakin tidak terbendung dan kondisi itu diperparah dengan tidak adanya manajemen stok yang baik. Padahal, tanpa adanya manajemen stok, itu akan berdampak pada penurunan populasi teripang di seluruh dunia, termasuk di Indonesia yang dikenal luas sebagai produsen teripang di dunia.

Ancaman yang dihadapi teripang, membuat the International Union for Conservation of Nature (IUCN) memasukkannya sebagai satwa yang terancam (endangered). Menurut Dirhamsyah, untuk mencegah terjadinya penurunan dan kepunahan spesies teripang, diperlukan teknologi budidaya untuk mengembangkan komoditas tersebut.

“Itu sekaligus untuk mendukung upaya konservasi, usaha budidaya, dan sekaligus penyediaan bahan baku pangan,” tandas dia.

Sebelum penelitian yang dilakukan LIPI sekarang, penelitian teripang sebagai budidaya sudah dilakukan oleh P2O sejak 1994 melalui penemuan awal pengembangan tahap selanjutnya. Kemudian, pada 2011, Balai Bio Industri Laut (BBIL) LIPI mulai melaksanakan kegiatan penelitian dan pengembangan budidaya teripang pasir dalam skala komersial.

Hingga sekarang, BBIL telah menguasai teknik pemeliharaan dan pematangan gonad induk, teknik rangsang pijah dan pemijahan, teknik pemeliharaan larva, teknik budidaya pakan alami larva yang dilaksanakan di laboratorium, teknik pendederan anakan. Melalui penguasaan teknologi pembenihan, sejak 2015 panti benih BBIL LIPI sudah memproduksi benih secara massal.

Budidaya Gabungan

Peneliti BBIL LIPI Hendra Munandar memaparkan, di luar pembenihan, BBIL LIPI juga berupaya mengembangkan teknologi budididaya pembesaran untuk secara bertahap mengurangi ketergantungan industri perikanan teripang terhadap stok alam. Teknologi pembesaran yang dilaksanakan mencakup budidaya di laut dengan sistem sea ranching dan budidaya tambak.

“Inovasi BBIL LIPI untuk meningkatkan produktivitas sekaligus menjaga keberlanjutan adalah melalui pengembangan teknologi Budidaya TERBARU, yaitu teknologi budidaya dengan pendekatan multitrofik yang menggabungkan komoditas teripang pasir, bandeng dan rumput laut Gracilaria sp. (TERBARU) dalam satu tambak,” paparnya.

Seorang warga memperlihatkan teripang hasil panen buka ‘sasi” di Tanjung Vagita, di wilayah pesisir Kampung Folley, Distrik Misool Timur, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat. Tanjung Vagita merupakan salah satu wilayah yang menerapkan konservasi tradisional “sasi”. (Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia)

Menurut Hendra, budidaya TERBARU dilaksanakan dengan mempertimbangkan posisi masing-masing biota dalam ekosistem budidaya, dimana rumput laut Gracilaria sp. berperan sebagai produsen yang menyerap nutrisi yang berasal dari perairan, pupuk, dan sisa metabolisme biota dalam tambak. Setelah itu, rumput laut tersebut mengonversinya menjadi biomassa melalui proses fotosintesis.

Selain rumput laut, Hendra menyebutkan, budidaya TERBARU juga melibatkan bandeng yang berperan sebagai omnivora Pemakan partikel tersuspensi, fitoplankton, dan klekap. Kemudian, teripang pasir berperan sebagai pemakan detritus yang memanfaatkan bahan organik dalam tambak.