Teripang, Si Buruk Rupa dari Perairan Dangkal yang Bernilai Ekonomi Tinggi

By , Senin, 12 Maret 2018 | 11:00 WIB

Perairan Indonesia yang dikenal memiliki biota laut lengkap dan unik di dunia, ternyata menjadi habitat yang sangat nyaman bagi teripang.

Biota laut yang masuk dalam filum Echinodermata itu, bisa tumbuh dan berkembang dengan baik, karena perairan Indonesia memiliki suhu yang sangat pas. Keunikan itu bisa terjadi, karena perairan Indonesia diapit dua samudera besar, Pasifik dan Hindia.

Meski bisa tumbuh subur dan ditemukan dengan mudah, teripang dewasa ini menjadi biota laut yang paling cepat dieksploitasi di Indonesia. Hal itu, terbukti dengan terus meningkatnya jumlah teripang yang diekspor ke berbagai negara di dunia. Dalam setahun, teripang bisa diekspor minimal dengan jumlah hingga 2 juta kilogram.

(Baca juga: Penguin di Antartika Ini Tertangkap Kamera Sedang Selfie)

Menurut Peneliti dari Balai Bio Industri Laut Mataram Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Muhammad Firdaus, dengan jumlah hingga mencapai 2 juta kilogram dalam setahun, nilai ekspor teripang sudah bernilai USD9.4 juta atau sekitar Rp128 miliar.

“Tetapi, walau bernilai besar, nilai teripang seharusnya bisa lebih besar lagi di pasar internasional. Saat ini, semua teripang yang diekspor ke berbagai negara itu tidak dalam bentuk yang sesuai dengan kehendak pasar,” ungkap dia di Jakarta, pekan lalu.

Firdaus menyebutkan, dalam mengekspor teripang, Indonesia melakukannya dalam bentuk hidup, segar, kering, ataupun olahan. Biota laut yang dikenal juga dengan sebutan timut laut (sea cucumber) itu, diprediksi akan menjadi komoditas unggulan di masa mendatang untuk dikirim ke negara lain, karena bernilai ekonomis tinggi.

“Teripang bernilai ekonomis tinggi karena itu adalah bahan pangan yang dipercaya memiliki berbagai manfaat kesehatan. Dan Indonesia telah lama dikenal salah satu produsen utama produk teripang utamanya dari hasil perikanan tangkap,” jelasnya.

Teripang sedang dikeringkan. (warungkita.net/Mongabay Indonesia)

Firdaus menjelaskan, dari 1.000 jenis lebih teripang yang ada di dunia, baru sekitar 35 jenis saja yang sudah diperdagangkan. Untuk di Indonesia, teripang yang bernilai ekonomi tinggi adalah teripang pasir (Holothuria scabra) yang harganya di pasar internasional berkisar USD15 hingga USD1.500 per kilogram. Oleh itu, biota laut tersebut termasuk salah satu yang dieksploitasi secara komersial di kawasan tropis.

Sebagai komoditas bernilai ekonomi tinggi di Indonesia, Firdaus mengatakan, teripang pasir dikenal juga dengan sebutan teripang gosok atau sandfish. Teripang jenis tersebut, biasanya diekspor dalam bentuk kering ke berbagai negara seperti Tiongkok, Taiwan, Korea, Hong Kong, Singapura, dan sejumlah negara di Eropa.

“Khusus di Eropa, kita mengirimnya dalam bentuk olahan siap masak,” jelasnya.

Perairan Dangkal

Kepala Pusat Penelitian Oseanografi (P2O) LIPI Dirhamsyah, pada kesempatan sama mengatakan, teripang sangat mudah ditemukan di perairan dangkal, terutama di wilayah perairan Indo-Pasifik. Kata dia, tempat hidup teripang adalah di perairan dangkal berupa ekosistem padang lamun dengan substrat pasir berlumpur.

Mengingat lokasi yang mudah ditemukan oleh nelayan dan juga karena bernilai ekonomi tinggi, teripang menjadi mudah dieksploitasi hingga diperdagangkan dengan volume yang besar. Kondisi itu, membuat spesies teripang terus mengalami praktik tangkapan berlebih (overfishing) dari waktu ke waktu.

“Teripang pasir diambil secara terus menerus dari alam tanpa memperhatikan umur dan ukuran, dari anakan muda sampai dewasa. Hal ini dilakukan untuk memenuhi tingginya permintaan pasar,” ungkap dia.

Dengan kemudahan lokasi untuk menangkap, Dirhamsyah menambahkan, eksploitasi semakin tidak terbendung dan kondisi itu diperparah dengan tidak adanya manajemen stok yang baik. Padahal, tanpa adanya manajemen stok, itu akan berdampak pada penurunan populasi teripang di seluruh dunia, termasuk di Indonesia yang dikenal luas sebagai produsen teripang di dunia.

Ancaman yang dihadapi teripang, membuat the International Union for Conservation of Nature (IUCN) memasukkannya sebagai satwa yang terancam (endangered). Menurut Dirhamsyah, untuk mencegah terjadinya penurunan dan kepunahan spesies teripang, diperlukan teknologi budidaya untuk mengembangkan komoditas tersebut.

“Itu sekaligus untuk mendukung upaya konservasi, usaha budidaya, dan sekaligus penyediaan bahan baku pangan,” tandas dia.

Sebelum penelitian yang dilakukan LIPI sekarang, penelitian teripang sebagai budidaya sudah dilakukan oleh P2O sejak 1994 melalui penemuan awal pengembangan tahap selanjutnya. Kemudian, pada 2011, Balai Bio Industri Laut (BBIL) LIPI mulai melaksanakan kegiatan penelitian dan pengembangan budidaya teripang pasir dalam skala komersial.

Hingga sekarang, BBIL telah menguasai teknik pemeliharaan dan pematangan gonad induk, teknik rangsang pijah dan pemijahan, teknik pemeliharaan larva, teknik budidaya pakan alami larva yang dilaksanakan di laboratorium, teknik pendederan anakan. Melalui penguasaan teknologi pembenihan, sejak 2015 panti benih BBIL LIPI sudah memproduksi benih secara massal.

Budidaya Gabungan

Peneliti BBIL LIPI Hendra Munandar memaparkan, di luar pembenihan, BBIL LIPI juga berupaya mengembangkan teknologi budididaya pembesaran untuk secara bertahap mengurangi ketergantungan industri perikanan teripang terhadap stok alam. Teknologi pembesaran yang dilaksanakan mencakup budidaya di laut dengan sistem sea ranching dan budidaya tambak.

“Inovasi BBIL LIPI untuk meningkatkan produktivitas sekaligus menjaga keberlanjutan adalah melalui pengembangan teknologi Budidaya TERBARU, yaitu teknologi budidaya dengan pendekatan multitrofik yang menggabungkan komoditas teripang pasir, bandeng dan rumput laut Gracilaria sp. (TERBARU) dalam satu tambak,” paparnya.

Seorang warga memperlihatkan teripang hasil panen buka ‘sasi” di Tanjung Vagita, di wilayah pesisir Kampung Folley, Distrik Misool Timur, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat. Tanjung Vagita merupakan salah satu wilayah yang menerapkan konservasi tradisional “sasi”. (Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia)

Menurut Hendra, budidaya TERBARU dilaksanakan dengan mempertimbangkan posisi masing-masing biota dalam ekosistem budidaya, dimana rumput laut Gracilaria sp. berperan sebagai produsen yang menyerap nutrisi yang berasal dari perairan, pupuk, dan sisa metabolisme biota dalam tambak. Setelah itu, rumput laut tersebut mengonversinya menjadi biomassa melalui proses fotosintesis.

Selain rumput laut, Hendra menyebutkan, budidaya TERBARU juga melibatkan bandeng yang berperan sebagai omnivora Pemakan partikel tersuspensi, fitoplankton, dan klekap. Kemudian, teripang pasir berperan sebagai pemakan detritus yang memanfaatkan bahan organik dalam tambak.

“Melalui metode ini, daur nutrisi dalam sistem budidaya menjadi lebih efisien, karena biaya pakan dan pengelolaan kualitas air dapat ditekan secara optimal yang akhirnya berdampak pada penurunan biaya produksi,” jelasnya.

Selain lebih ramah lingkungan, budidaya TERBARU juga memiliki produktivitas dan nilai ekonomi yang lebih baik dibandingkan dengan budidaya masing-masing komoditas secara monokultur. Introduksi teripang pasir sebagai komoditas baru bernilai ekonomis tinggi, secara langsung meningkatkan nilai ekonomi sistem ini.

Estimasi produktivitas dan pendapatan per tahun untuk lahan tambak seluas satu hektar untuk budidaya TERBARU lebih jika tinggi dibandingkan dengan budidaya monokultur yaitu sebesar 17,5 persen (monokultur teripang), 422,2 persen (monokultur bandeng), dan 879,2 persen (monokultur Gracilaria sp.).

“Hasil penelitian juga sudah dimanfaatkan oleh berbagai stakeholder. Keberadaan teknologi budidaya teripang pasir diharapkan dapat menjaga keseimbangan populasi teripang pasir di alam, sekaligus tetap memenuhi kebutuhan pasar dan mendukung kegiatan pemberdayaan masyarakat pesisir,” pungkas Hendra.

Sementara, Peneliti P2O LIPI Tutik Murniasih menjelaskan, walau potensi ekonominya tinggi, bentuk dan rupa dari biota laut tersebut dinilai kurang menarik. Namun positifnya, saat ini masyarakat sudah semakin menyadari keberadaan biota tersebut yang dinilai baik untuk kesehatan.

”Masyarakat saat ini sudah sadar untuk mengkonsumsi makanan yang sehat dari produk alami karena memiliki manfaat fisiologis dan mengurangi resiko terjadinya berbagai penyakit kronis,” jelas dia.

(Baca juga: Horor, Ribuan Makhluk Laut Mati Terdampar di Pantai Inggris)

Tutik mencontohkan, teripang Stichopus vastus yang tergolong teripang murah, tetap memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi produk obat dan makanan kesehatan yang bernilai ekonomi tinggi.

Menurut dia, teripang dapat diolah menjadi makanan kesehatan pendamping atau penambah program diet, nutrisi atau kondisi tubuh tertentu dan bukan merupakan pengganti makanan.

Salah satu bentuk pengembangan teripang yang dilakukan LIPI, kata Tutik, adalah formula suplemen teripang dengan dengan fisik warna putih keruh, berbau khas dan berbentuk kental.

Formulasi sediaan dalam bentuk cair, kata dia, mempunyai banyak keuntungan, yaitu kemudahan dalam penentuan dosis, kemudahan untuk ditelan, pertimbangan bioavailabilitas, dan kandungannya lebih mudah diserap tubuh.

Artikel ini pernah tayang di mongabay.co.id. Baca artikel sumber