Tapi apakah demikian?
Cerita dari Gelombang Radio
Untuk bisa memperoleh data pengamatan bintang-bintang tertua tentu tidak mudah. Semakin tua alam semesta, makin sedikit pula bintang yang bisa ditemukan. Bahkan sampai sekitar 500 juta tahun setelah Dentuman Besar, alam semesta masih dipenuhi atom hidrogen netral yang sangat pandai menghalangi cahaya.
Tapi, para astronom menduga ada sidik jari yang tersisa dari masa ketika gas hidrogen menyerap radiasi latar belakang, yang sekaligus menjadi jejak fajar kosmis. Yang dicari adalah penurunan kecerlangan pada spektrum radiasi latar belakang yang cukup tajam dan bisa dikenali.
Tapi jelas tidak mudah. Sinyal yang dicari bisa jadi sudah terkontaminasi sinyal lain yang sumbernya lokal seperti sinyal radio FM atau derau dari sinyal radio yang datang dari Bima Sakti. Derau yang dihasilkan bisa 10000 kali lebih terang dari sinyal yang dicari!
Masalah lain, alam semesta memuai dan galaksi-galaksi jauh bergerak semakin menjauh. Spektrum yang diterima bisa jadi sudah mengalami pergeseran merah dari panjang gelombang awalnya.
Maka, pencarian pun dilakukan dalam panjang gelombang radio dengan antena radio EDGES yang di area sepi di Australia Barat. Yang dicari adalah sinyal serapan atau sinyal pancaran radiasi paling lemah dari awan gas pada panjang gelombang 21 cm. Sinyal radio yang dicari ini mengandung derau hanya 0,01%.
Baca juga: Tiangong-1, Stasiun Luar Angkasa China yang Buat Dunia Harap-harap Cemas
Jelasnya para astronom sedang mencari jarum di tumpukan jerami. Hampir mustahil tapi bukan tidak mungkin.
Voila! Sinyal radio dari bintang pertama itu pun berhasil diterima dan sinyal serapan itu tampak pada frekuensi 78 MHz.
Tapi, seperti yang diduga, sinyal radio ini sudah mengalami pergeseran merah ke frekuensi yang lebih rendah oleh pemuaian alam semesta.
Sinyal radio itu membawa cerita kalau foton radiasi latar belakang mengalami absorpsi 180 juta tahun setelah alam semesta terbentuk, atau 13,6 miliar tahun lalu. Sinyal absorpsi ini baru berakhir 100 juta tahun kemudian.