<i>National Geographic</i>: Selama Beberapa Dekade, Liputan Kami Bernada Rasis

By , Rabu, 21 Maret 2018 | 10:00 WIB

Saat itu 2 November 1930, National Geographic  mengirimkan reporter dan fotografernya untuk meliput kejadian menakjubkan: pengangkatan Haile Selassie, Raja dari segala Raja Ethiopia, Singa Penakluk dari Suku Yehuda. Ada sangkakala, dupa, pendeta, dan prajurit di sana. Liputan tersebut memuat 14 ribu kata dan 83 gambar.

Jika upacara pada 1930 yang menghormati pria kulit hitam tersebut dilakukan di Amerika, dan bukan Ethiophia, Anda bisa menjamin tidak akan ada cerita yang ditulis. Lebih buruknya lagi, jika Haile Selassie tinggal di Amerika Serikat, dia sudah pasti tidak diperbolehkan masuk ke dalam kuliah kami dan ditolak menjadi anggota National Geographic.

Menurut Robert M. Poole, penulis Explorers House: National Geographic and the World It Made, “Orang Afrika-Amerika tidak diperbolehkan menjadi anggota National Geographic – setidaknya di Washington – selama 1940an.”

(Baca juga: Ini Kata Peneliti Tentang Mumi Misterius Mirip Alien yang Ditemukan di Peru)

Saya merupakan editor kesepuluh National Geographic sejak ia didirikan pada 1888. Saya merupakan wanita dan Yahudi pertama di sini – dua kelompok yang juga menghadapi diskriminasi. Sakit rasanya untuk berbagi cerita mengerikan dari masa lalu majalah ini. Namun, ketika memutuskan untuk mencurahkan edisi April pada topik ras, kami pikir perlu mengusut kembali sejarah majalah ini sebelum memberikan laporan kami kepada orang lain.

Ras bukanlah konstruksi biologis, jelas penulis Elizabeth Kolbert dalam edisi ini. Menurutnya, ras merupakan konstruksi sosial yang memiliki efek menghancurkan.

"Banyak kengerian yang terjadi beberapa abad lalu -- berasal dari gagasan bahwa satu ras lebih rendah daripada yang lain," tulisnya. “Pemisahan ras ini terus menajamkan politik, kehidupan bertetangga dan harga diri kita.”

Bagaimana kita merepresentasikan ras sangat penting. Saya mendengar dari para pembaca bahwa National Geographic memberikan mereka pandangan baru tentang dunia. Para penjelajah, ilmuwan, fotografer, dan penulis kami telah membawa orang-orang ke tempat yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya; ini adalah sebuah tradisi yang mendasari liputan kami. Dan kami bangga karenanya.

Namun, ini berarti kami juga memiliki tugas, di setiap cerita, untuk menyajikan gambaran yang akurat dan otentik. Tugas ini semakin berat ketika membahas isu-isu berbahaya seperti ras.

Kami bertanya kepada John Edwin Mason untuk membantu memeriksa sejarah liputan kami. Mason cocok untuk tugas ini karena: ia merupakan profesor di University of Virginia dengan spesialisasi pada sejarah fotografi dan sejarah Afrika, yang menjadi persimpangan cerita-cerita kami. Mason pun menenggelamkam diri pada arsip-arsip National Geographic.

Apa yang Mason temukan adalah, sampai 1970an, National Geographic mengabaikan ‘orang-orang berwarna’ di Amerika Serikat -- jarang mengakui mereka di luar pekerjannya sebagai buruh dan asisten rumah tangga. Sementara itu, National Geographic menggambarkan “orang-orang asli” di negara lain dengan eksotis, terkenal dan sering tidak berpakaian, pemburu yang bahagia, serta manusia liar yang mulia – klise.

Tidak seperti majalah Life, Mason mengatakan, National Geographic hanya melakukan sedikit dorongan ke pembacanya di luar stereotip yang tertanam dalam budaya warga Amerika berkulit putih.

“Orang-orang Amerika mendapat ide tentang dunia dari film-film Tarzan dan karikatur rasis yang kejam,” kata Mason. “Pemisahan adalah penyebabnya. National Geographic tidak mengajarkan pesan yang sudah mereka terima dan melakukannya di majalah yang memiliki otoritas luas biasa. National Geographic muncul pada puncak kolonialisme. Dunia dibagi menjadi penjajah dan terjajah. Ada garis warna di sana. National Geographic mencerminkan gambaran dari dunia tersebut.”

Pada artikel di 1916, suku Aborigin Australia disebut sebagai "orang liar yang memiliki kecerdasan terendah". (C.P. Scott, H.E. Gregory/National Geographic Creative)

Apa yang ditemukan dalam arsip kami akan membuat Anda tak bisa berkata-kata. Seperti liputan tentang Australia pada 1916. Di bawah foto dua orang suku Aborigin, tertulis: “Orang Kulit Hitam Australia Selatan: Orang-orang liar ini berada di peringkat terendah dalam kecerdasan manusia.”

Pertanyaan-pertanyaan muncul tidak hanya dari apa yang ditulis di majalah, tapi juga tentang apa yang tidak disampaikan. Mason membandingkan dua cerita yang kami tulis tentang Afrika Selatan – pada 1962 dan 1977. Cerita di tahun 1962 dipublikasikan 2,5 tahun setelah pembunuhan 69 orang kulit hitam di Afrika Selatan oleh polisi di Sharpeville. Mereka tertembak di bagian belakang tubuhnya saat melarikan diri. Kebrutalan pembunuhan ini mengejutkan dunia.

“Tulisan National Geographic tidak menunjukkan adanya masalah. Tidak ada pendapat dari orang kulit hitam di Afrika Selatan. Ketiadaan itu menjadi masalah penting. Di majalah tersebut, hanya ada orang-orang kulit hitam yang melakukan tarian eksotis. Atau mereka yang bekerja sebagai budak dan buruh. Sebenarnya sangat aneh mengetahui bahwa editor, penulis, dan fotografer National Geographic tidak menyadari hal ini,” papar Mason.

Ini berkebalikan dengan tulisan pada 1977, saat kebangkitan pergerakan hak warga sipil Amerika Serikat: “Meskipun tidak sempurna, namun artikel tersebut menunjukkan adanya penindasan,” kata Mason. “Orang-orang kulit hitam tergambarkan. Begitu pun pihak oposisi. Itu artikel yang sangat berbeda.”

Maju ke liputan di 2015, saat kami memberikan kamera ke anak muda Haiti dan meminta mereka mendokumentasikan realita dunianya. “Gambar penduduk Haiti sangat penting,” kata Mason. Itu ‘tidak terpikirkan’ di masa lalu. Begitu juga dengan liputan kami sekarang mengenai konflik etnis dan agama, norma-norma gender yang berkembang, kenyataan Afrika saat ini, dan banyak lagi.

Mason juga mengupas keanehan lain di majalah ini – yakni adanya foto penduduk asli yang terkesima dengan teknologi Barat. Menurutnya, itu menciptakan dikotomi antara masyarakat yang beradab dan tidak. 

Fotografer Frank Schreider menunjukkan kameranya pada penduduk asli di Timor pada 1962. (Frank dan Helen Schreider/National Geographic Creative)

“Jika saya sedang berbicara dengan murid-murid saya pada tahun 1960an, saya akan mengatakan, ‘Berhati-hatilah dengan apa yang kalian pelajari di sini’,” kata Mason.

“Di saat yang bersamaan, kalian menyadari kekuatan National Geographic: yakni bisa membawa orang-orang untuk melihat dunia yang belum diketahui sebelumnya. Namun, sangat memungkinkan untuk mengatakan bahwa majalah ini juga bisa membuka mata banyak orang, sekaligus menutupnya,” paparnya.

Pada 4 April 2018, kita memperingati 50 tahun pembunuhan Martin Luther King, Jr. Ini adalah momen berharga untuk mundur dan menentukan posisi kita dalam membahas ras. Ini juga menjadi perbincangan nyata di Amerika Serikat: kurang dari setengah anak-anak di negera itu akan berkulit putih. Jadi, mari kita bicara tentang apa yang akan berhasil dan yang tidak.

Mari mengecek lagi mengapa kita terus membeda-bedakan ras dan bagaimana kita menciptakan komunitas yang inklusif. Mari kita lawan penggunaan isu rasisme sebagai strategi politik yang memalukan dan buktikan bahwa kita lebih baik dari ini.

(Baca juga: Foto-foto Menakjubkan Dari Jembatan Akar Hidup di India)

Bagi National Geographic, isu ras ini juga memberikan kesempatan untuk melihat upaya kami dalam menerangi perjalanan manusia, yang menjadi bagian inti dari misi majalah ini selama 130 tahun.

Saya ingin editor National Geographic di masa depan bisa melihat kembali liputan-liputan kami dengan rasa bangga. Tidak hanya mengenai cerita-cerita yang dibagikan, tapi juga betapa beragamnya penulis, editor dan fotografer kami.

Kami berharap Anda akan bergabung dengan kami dalam eksplorasi ras ini, mulai dari awal bulan hingga tahun-tahun selanjutnya. Terkadang, cerita-cerita ini – sama seperti sejarah kita – sulit untuk dibaca. Namun, seperti yang dikatakan Michele Norris dalam edisi ini, “Sulit bagi individu – atau negara – untuk mengubah ketidaknyamanan, apabila sumber kegelisahan hanya dibahas dengan nada sunyi.”