Patah Hati Bisa Membuat Anda Meninggal Dunia

By , Kamis, 22 Maret 2018 | 10:00 WIB

Seberapa mungkin Anda meninggal karena sakit hati dan kesedihan?

Pakar jantung asal Australia, Nikki Stamp mengatakan bisa jadi, dan istilahnya adalah takotsubo, diambil dari bahasa Jepang yang artinya guci gurita.

Apa yang terjadi?

Secara garis besar, 'sakit hati' adalah istilah emosional yang kita anggap sebagai gejala fisik karena patah hati atau kesedihan.

"Apa yang kita tahu bagi sebagian orang merasa tertekan karena kehilangan seseorang, atau apapun yang membuat tertekan dalam hidup, memicu banyak reaksi dalam tubuh secara fisik dan dan juga secara psikologi yang dapat menyebabkan penyakit, bahkan kadang-kadang menyebabkan seseorang meninggal dunia, "kata Dr Stamp.

Baca juga: Mengatasi Gangguan Kecemasan dengan Bantuan Alam

Penelitian menunjukkan 30 hari pertama setelah orang yang dicintai meninggal, risiko kematian kita juga meningkat secara signifikan.

Apa yang terjadi secara fisik?

Ini semua kembali ke stress atau merasa tertekan. "Apa yang terjadi hal-hal seperti itu meningkatkan detak jantung dan tekanan darah Anda, membuat jantung bekerja lebih cepat, darah lebih kental, dan merusak sistem kekebalan tubuh Anda," kata Dr Stamp.

"Dan, tentu saja, kita mulai melakukan hal-hal yang mungkin tidak baik, seperti menguburkan perasaan dengan makan-makan enak atau tidak berolahraga, tidak mau berhubungan dengan orang lain."

"Ini benar-benar bagian penting bagaimana kita mengatasi stress."

Sekarat akibat patah hati

Tekanan karena kesedihan dapat berdampak pada kesehatan secara umum, tapi ada kondisi medis tertentu yang terbukti dengan sebutan "taktsubo cardiomyopathy", sebuah sindrom yang menurut dokter sekarat karena patah hati.

Tapi ini sangat jarang terjadi.

Baca juga: Lima Hal yang Perlu Dipahami tentang Skizofrenia

"Dalam keadaan stress yang akut yang terjadi adalah adanya peningkatan adrenalin dan ini menyebabkan hal yang sama dengan serangan jantung," kata Dr Stamp.

"Berbicara soal takotsubo, kita sebenarnya melihat semua pengujian yang merujuk pada serangan jantung."

Mereka dengan gejala depresi cenderung menggunakan kata yang menyampaikan emosi negatif secara berlebihan, khususnya kata sifat dan kata keterangan negatif—seperti “kesepian”, “sedih”, atau “menyedihkan”. (Thinkstock)

"Saat kita melihat jantung mereka, secara fisik melihat jantung mereka, yang kita lihat biasanya adalah pembuluh koroner dan jantung yang menggembung."

Hal ini pertama kali dijelaskan di Jepang tahun 1990, setelah jantung seorang pasien dikatakan bentuknya menyerupai panci gurita, dan baru baru dikenali di Australia 10 tahun kemudian.

Dr Stamp mengatakan takotsubo jarang terjadi, biasanya menyerang perempuan setelah menopause, dan tidak semua orang yang menderita akan meninggal dunia.

Baca juga: Benarkah Bunuh Diri Bisa Menular?

Seminggu setelah gempa Christchurch di tahun 2011 185 orang tewas, lebih dari 20 pasien menderita takotsubo.

"Lonjakan penyakit seperti ini tidak sering kita lihat," kata Dr Stamp.

Membutuhkan penelitian tambahan

Penelitian sudah dilakukan dan para periset mengubah cara kita berpikir soal patah hati dalam pengertian medis.

"Misalnya, dalam beberapa tahun terakhir depresi telah dianggap sebagai faktor berisiko pada penyakit jantung yang berdiri sendiri," kata Dr Stamp.

"Sekarang, yakni 20 tahun setelahnya, ini bukanlah sesuatu yang orang katakan karena sepertinya lembut."

Baca juga: Terlalu Bahagia Dapat Sebabkan Sindrom Patah Hati

Telah ada juga sejumlah penelitian lebih lanjut soal bagaimana depresi tidak hanya berpengaruh pada masalah jantung, tapi juga bagaimana bisa mempengaruhi pemulihan Anda.

"Pengobatan dalam hal ini menjadi sedikit lebih holistik," kata Dr Stamp.

"Kami menyadari bahwa penyakit ini tidak ada di luar sana dan ini menjadi benar-benar penting."