Kisah Desa Patemon yang Selamat Dari Krisis Air Berkat Sumur Resapan

By , Rabu, 21 Maret 2018 | 18:00 WIB

Pada 2012 akhir, Desa Patemon di Salatiga, menjadi salah satu wilayah dengan kekeringan terparah. Warganya yang berjumlah 4208 orang mengalami krisis air. Ini mempengaruhi kehidupan mereka sehari-hari.

Joko Waluyo, warga Desa Patemon, mengatakan, ia harus mengatur jumlah air untuk makan dan minum. Begitu pula dengan ternak-ternaknya yang mesti menahan haus karena terbatasnya air.

Untuk mandi pun, warga Desa Patemon terpaksa mengunjungi Mata Air Senjoyo yang terletak di kaki Gunung Merbabu.

Joko masih ingat bagaimana perjuangan mereka untuk mendapatkan air bersih. Setiap hari, penduduk desa meminta 6-7 tangki air kepada Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Salatiga. Satu tangki yang datang bisa membuat para warga bertengkar.

“Sering rebutan, ya namanya juga kekurangan air,” cerita pria berusia 58 tahun ini.

(Baca juga: 10 Alasan Mengapa Kita Harus Lakukan Reduce, Recycle & Reuse)

Saking keringnya wilayah tersebut, bahkan ada mitos yang mengatakan bahwa mereka tidak akan pernah menemukan sumber air di Desa Patemon.

 “Orangtua selalu bercerita, mata air di desa Patemon itu tertutup. Percuma gali tanah di Patemon karena tidak akan ada air yang keluar,” tambah Joko.

Namun, pria yang juga menjadi tokoh masyarakat di Desa Patemon ini, menolak berpangku tangan. “Saya berpikir, nggak bisa seperti ini terus. Akhirnya cari langkah untuk mengatasi krisis air. Saya dan beberapa pimpinan desa memutuskan untuk membuat lubang kecil untuk menampung air,” kata Joko.

Bak gayung bersambut, di saat yang bersamaan, Lembaga Swadaya Masyarakat Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thoyibah (SPPQT) dan USAID Indonesia Urban Water, Sanitation and Hygiene Penyehatan Lingkungan Untuk Semua (IUWASH Plus) menawarkan Desa Patemon membangun sumur resapan untuk mengatasi kekeringan di wilayah tersebut.

Sumur resapan di Desa Patemon

Joko dan anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) tentu saja setuju dengan ide sumur resapan itu. Namun, tidak dengan warga lainnya.

Mereka menolak merelakan lahan mereka untuk membuat sumur resapan. Bahkan, ada warga yang meminta Joko untuk membeli lahan mereka jika ingin membangun sumur resapan.