Pada 2012 akhir, Desa Patemon di Salatiga, menjadi salah satu wilayah dengan kekeringan terparah. Warganya yang berjumlah 4208 orang mengalami krisis air. Ini mempengaruhi kehidupan mereka sehari-hari.
Joko Waluyo, warga Desa Patemon, mengatakan, ia harus mengatur jumlah air untuk makan dan minum. Begitu pula dengan ternak-ternaknya yang mesti menahan haus karena terbatasnya air.
Untuk mandi pun, warga Desa Patemon terpaksa mengunjungi Mata Air Senjoyo yang terletak di kaki Gunung Merbabu.
Joko masih ingat bagaimana perjuangan mereka untuk mendapatkan air bersih. Setiap hari, penduduk desa meminta 6-7 tangki air kepada Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Salatiga. Satu tangki yang datang bisa membuat para warga bertengkar.
“Sering rebutan, ya namanya juga kekurangan air,” cerita pria berusia 58 tahun ini.
(Baca juga: 10 Alasan Mengapa Kita Harus Lakukan Reduce, Recycle & Reuse)
Saking keringnya wilayah tersebut, bahkan ada mitos yang mengatakan bahwa mereka tidak akan pernah menemukan sumber air di Desa Patemon.
“Orangtua selalu bercerita, mata air di desa Patemon itu tertutup. Percuma gali tanah di Patemon karena tidak akan ada air yang keluar,” tambah Joko.
Namun, pria yang juga menjadi tokoh masyarakat di Desa Patemon ini, menolak berpangku tangan. “Saya berpikir, nggak bisa seperti ini terus. Akhirnya cari langkah untuk mengatasi krisis air. Saya dan beberapa pimpinan desa memutuskan untuk membuat lubang kecil untuk menampung air,” kata Joko.
Bak gayung bersambut, di saat yang bersamaan, Lembaga Swadaya Masyarakat Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thoyibah (SPPQT) dan USAID Indonesia Urban Water, Sanitation and Hygiene Penyehatan Lingkungan Untuk Semua (IUWASH Plus) menawarkan Desa Patemon membangun sumur resapan untuk mengatasi kekeringan di wilayah tersebut.
Sumur resapan di Desa Patemon
Joko dan anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) tentu saja setuju dengan ide sumur resapan itu. Namun, tidak dengan warga lainnya.
Mereka menolak merelakan lahan mereka untuk membuat sumur resapan. Bahkan, ada warga yang meminta Joko untuk membeli lahan mereka jika ingin membangun sumur resapan.
Seiring berjalannya waktu, dengan pendekatan dari SPPQT dan USAID IUWASH Plus, akhirnya warga desa Patemon setuju untuk membangun sumur resapan di halaman rumah dan ladang mereka. Saat ini ada 320 sumur resapan di wilayah tersebut.
“Kalau kita tidak peduli pada lingkungan, mungkin 10-15 tahun mendatang Bumi kita akan kekurangan air. Saya sepakat dengan pembangunan sumur resapan ini karena pada dasarnya, air yang telah diambil dari tanah, harus dikembalikan lagi ke tanah,” papar Joko.
Sumur resapan merupakan metode buatan untuk meningkatkan sumber air tanah. Sumur resapan mampu mengumpulkan, menangkap dan meresapkan air hujan ke dalam tanah.
Nantinya, air tersebut akan meresap ke akuifer – lapisan tanah yang dapat menyimpan air. Air yang terkumpul di lapisan akuifer dapat digunakan selama musim kemarau untuk mengisi sumur dangkal atau meningkatkan aliran mata air untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang tinggal di hilir sungai.
Tak lagi kekeringan
Kini, warga Desa Patemon bisa merasakan manfaat dari sumur resapan. Mereka tidak lagi kekurangan air.
(Baca juga: Lima Langkah Mudah untuk Bantu Perangi Perubahan Iklim)
Cerita paling menarik berasal dari sumur gali salah satu warga. Dahulu, sumur ini tak pernah memiliki sumber air yang cukup. Namun, setelah ada sumur resapan, jumlah airnya meningkat drastis.
“Tadinya, untuk keluarga saya saja tidak cukup. Hanya bisa diambil 300 liter. Setelah saya buat sumur resapan, sekarang air di sumur gali bisa dipakai 20 keluarga,” ujar Budhiono, pemilik sumur gali tersebut.
Desa Patemon yang dulu selalu meminta tangki air ke PDAM, sekarang menjadi penyumbang kenaikan debit air di Mata Air Senjoyo. Debit mata air tersebut meningkat dari 800 liter/detik pada 2015, menjadi 1100 liter/detik pada 2017.
Melihat manfaat tersebut, warga Desa Patemon berencana meneruskan pembangunan sumur resapan. Bahkan, dana desa dianggarkan untuk pembuatan sumur resapan.
BPD melalui rembuk desa juga telah menetapkan Peraturan Desa (Perdes) Desa Patemon Nomor I Tahun 2015 tentang Tata Kelola Air.