Kelompok Manusia Purba yang Berhasil Selamat Dari Letusan Gunung Berapi

By , Jumat, 23 Maret 2018 | 13:00 WIB

Di pulau Sumatra, sekitar 74 ribu tahun lalu, erupsi gunung berapi mendatangkan malapetaka, menyebar gumpalan abu dan puing hingga ribuan mil dan menyebabkan suhu menurun drastis.

Efek erupsi dirasakan hingga selatan Afrika, memberikan dampak pada manusia purba masa itu. Beberapa ilmuwan menyatakan bahwa erupsi Toba sangat kuat. Hampir membuat nenek moyang kita punah.  

“Erupsi Toba adalah yang terbesar selama dua juta tahun,” ujar Gene Smith, ahli geologi di University of Nevada Las Vegas.

(Baca juga: Untuk Pertama Kalinya, Peneliti Berhasil Rekam Suara Petir Vulkanik)

Bagaimana pun juga, selain bisa bertahan hidup, manusia purba semakin maju setelah erupsi Toba. Ini disimpulan dari artefak yang mereka ciptakan selama dan sesudah erupsi.

Penemuan yang dipublikasikan pada jurnal Nature ini, memperkuat fakta bahwa letusan intens tidak menimbulkan ancaman bagi leluhur kita. Mungkin karena manusia purba Afrika berlindung di sepanjang pantai.

Bertahan hidup saat erupsi

Menurut penelitian, manusia modern mewarisi bukti genetik dari populasi yang tersisa ketika mereka keluar dari Afrika 60 ribu tahun lalu. Mengapa sangat sedikit? Beberapa ilmuwan pernah menyatakan bahwa nenek moyang kita beberapa hancur oleh letusan Toba.  

Dalam sekejap, letusan gunung berapi mengeluarkan batu dan debu, mengirimkan puing-puing ke udara dan meninggalkan bekas di Bumi dengan ukuran lebih dari 60 mil. Toba juga melemparkan debu dan belerang dalam jumlah besar ke atmosfer. Berpotensi mendinginkan permukaan Bumi, menciptakan gletser, dan menurunkan permukaan laut.

Mengingat peran potensial Toba dalam membentuk umat manusia, para peneliti berusaha untuk memahami dengan pasti bagaimana manusia purba bereaksi terhadap itu.

Sebelumnya, para peneliti di India menemukan bukti bahwa manusia purba hidup selama erupsi. Sedimen dari Danau Malawi di Afrika juga menunjukkan bahwa letusan itu tidak secara langsung mengubah iklim di wilayah tersebut.

Namun, untuk lebih memahami apa yang terjadi di Afrika, para peneliti harus menemukan situs arkeologi yang tersebar abu Toba.

Lapisan abu

Pada 2011, Smith dan istrinya mengikuti perjalanan dari National Geographic ke Pinnacle Point Afrika Selatan, sebuah situs arkeologi yang menghadap ke Samudera Hindia, dan mereka bertemu dengan arkeolog Curtis Marean dari Arizona State University.

Marean menunjukkan Smith contoh tanah misterius dari area tersebut. Smith mengenali itu sebagai tanah yang mengandung abu dari gunung berapi. Tak lama setelahnya, Smith bergabung dengan tim Marean untuk mengumpulkan sampel.

Pertama-tama, tim perlu mencari tahu letusan gunung berapi mana yang menyelimuti Pinnacle Point dan Vleesbai. Mereka meneliti sampel untuk menemukan pecahan kaca mikroskopis yang menandakan erupsi vulkanik. Sampel kaca tersebut cocok dengan yang ditemukan di Toba dan situs abu Toba lainnya.

Para peneliti juga harus menentukan umur lapisan abu tersebut, tugas rumit yang dilakukan oleh Zenobia Jacobs, peneliti dari University of Wollongong. Setelah menganalisis abu, Jacobs memperkirakan, lapisan tersebut berusia 74 ribu tahun – cocok dengan erupsi Toba.

(Baca juga: Beginikah Asal-usul Stonehenge Dibangun?)

Di bawah, di dalam, dan di atas lapisan abu, para peneliti menemukan lebih dari 400 ribu artefak yang ditinggalkan manusia, mulai dari alat batu yang dipanaskan hingga tulang hewan.

Berdasarkan bukti itu, tim peneliti beranggapan bahwa populasi manusia modern di lepas pantai Afrika Selatan semakin berkembang setelah erupsi, menempati situs tersebut hingga ribuan tahun, dan mengembangkan inovasi.

Marean dan koleganya menyatakan bahwa lepas pantai Afrika mungkin berfungsi sebagai tempat pengungsian. Sebuah penelitian di 2009 menunjukkan bahwa erupsi tersebut menurunkan suhu global 14 derajat Fahrenheit, ini membuat mereka sulit bertahan di tempat lain selain Afrika.