Mengapa Kasus Gizi buruk Pada Balita di NTT Sulit Diakhiri?

By , Jumat, 23 Maret 2018 | 16:00 WIB

Dua pekan lalu, Gubernur Nusa Tenggara Timur Frans Lebu Raya mengklaim bahwa angka gizi buruk di provinsi ini menurun sekitar 8,02% dari 3.340 anak usia di bawah lima tahun (balita) penderita gizi buruk pada 2015 menjadi 3.072 penderita pada 2016. Selain harus diperiksa lagi akurasi klaim tersebut, apa sebenarnya penyebab utama gizi buruk di provinsi kawasan timur Indonesia itu?

Apa itu gizi buruk dan gizi kurang

Kurang gizi ditandai dengan badan yang kurus, karena berat badannya kurang untuk anak seusianya. Terlepas dari masalah genetik, tubuh anak kurang gizi juga lebih pendek dibanding anak lain seusianya. Jika masalah kekurangan gizi ini tidak segera diatasi, anak akan mengalami masalah gizi buruk.

Sedangkan anak bergizi buruk lebih mudah terlihat karena gizi buruk ini sangat mempengaruhi fisik. Gizi buruk terdiri dua jenis yaitu marasmus dan kwasiorkor. Penderita marasmus ditandai dengan tubuh yang sangat kurus, sehingga tulang-tulangnya sangat menonjol. Ibaratnya, hanya tinggal tulang berbalut kulit saja. Sedangkan penderita kwasiorkor memiliki perut yang buncit dan kaki yang membengkak. Biasanya hal ini disebabkan karena anak kekurangan protein.

Baca juga: Pernikahan Dini Picu Lahirnya Anak Bertubuh Kerdil, Benarkah?

Prevalensi tinggi di NTT

Prevalensi gizi buruk dan gizi kurang pada balita di Nusa Tenggara Timur (NTT) pada 2010 menempati urutan tertinggi kedua di bawah Nusa Tenggara Barat (NTB). Prevalensi gizi buruk dan gizi kurang di NTT pada tahun itu mencapai 29,4% yang terdiri dari gizi buruk 9% (atau 53.580 balita) dan gizi kurang 20,4% (atau 121.448 balita). Dengan kata lain, terdapat 175.028 kasus balita gizi buruk dan gizi kurang dari 595.331 balita yang ditimbang pada 2010 di NTT.

Empat tahun berikutnya, dari 361.696 anak yang ditimbang, 23.963 anak (6,6%) di antaranya kurang gizi dan 3.351 anak (0,9%) mengalami gizi buruk tanpa gejala klinis. Terjadi penurunan angka gizi buruk pada 2015, tapi pemerintah tidak boleh kendor bekerja menurunkan angka gizi bermasalah. Bisa saja masa masih ada kasus yang belum diketahui.

Riset kami di Kecamatan Kodi Utara, Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur, pada Maret-Mei 2014, menunjukkan faktor yang paling berisiko meningkatkan kejadian gizi kurang pada balita adalah pendapatan keluarga yang kurang dari Rp234.141 per bulan dan frekuensi sakit anak balita di atas 3 kali dalam 6 bulan.

Baca juga: Apa yang Harus Dikatakan Pada Orangtua yang Menolak Vaksin untuk Anaknya?

Data untuk mengetahui faktor risiko gizi buruk dan gizi kurang pada anak balita di NTT ini kami ambil dari 38 balita dengan gizi kurang sebagai kelompok kasus dan 76 balita sehat sebagai kontrol, yang dipilih dari 4.321 balita yang teregistrasi di Puskesmas Kori. Kami mengumpulkan data dengan wawancara langsung di rumah masing-masing responden.

Dari analisis uji hubungan menunjukkan bahwa balita dari keluarga dengan pendapatan kurang dari Rp234.141 berisiko 15 kali mengalami gizi kurang karena pendapatan keluarga berhubungan erat dengan pola konsumsi dan asupan gizi anak. Sedangkan, balita yang dalam 6 bulan menderita sakit lebih dari 3 kali meningkatkan risiko 35 kali lebih besar mengalami gizi kurang. Frekuensi sakit berhubungan dengan infeksi penyakit. Infeksi penyakit dan kejadian gizi buruk atau kurang merupakan hubungan yang timbal balik.

Kami berharap hasil riset ini dapat dipergunakan oleh penentu kebijakan di NTT untuk memerangi gizi buruk yang seolah-olah tiada jalan keluarnya. Sebelum tim kami, belum pernah ada riset di kecamatan tersebut untuk mengetahui faktor risiko gizi kurang pada anak balita.