Mengapa Kasus Gizi buruk Pada Balita di NTT Sulit Diakhiri?

By , Jumat, 23 Maret 2018 | 16:00 WIB

Gizi buruk dan kematian balita

Jumlah anak balita yang mengalami kurang gizi di negara berkembang pada 2009 dilaporkan mencapai 129 juta atau sekitar 1 dari 4 balita. Dari jumlah itu, 10% mengalami gizi buruk. Adapun balita yang meninggal akibat gizi kurang dan buruk di negara berkembang pada 2013 dilaporkan sebanyak 2.835.000 atau 45% dari total jumlah kematian balita.

Baca juga: Dampak Kurang Tidur pada Anak, Perkembangan Emosi Salah Satunya

UNICEF melaporkan bahwa prevalensi balita yang mengalami wasting,(gizi kurang karena berat badan anak tidak sesuai dengan tinggi badannya) di Indonesia pada 2009 menduduki peringkat kelima (14% atau 2.841.000 balita) di dunia setelah India, Nigeria, Pakistan, dan Bangladesh.

Selain menyebabkan kematian, gizi buruk dan kurang gizi juga mengganggu pertumbuhan dan perkembangan kecerdasan. Setiap anak yang mengalami gizi buruk dilaporkan mempunyai risiko kehilangan IQ sebesar 10-13 poin.

Menurunkan prevalensi gizi buruk dan gizi kurang pada balita sangat penting karena gizi sangat mempengaruhi pertumbuhan anak, yang dikenal golden periode alias 1000 Hari Pertama Kehidupan. Pada masa ini asupan gizi benar-benar harus dicukupi untuk tumbuh kembang anak yang optimal agar tidak terjadi lost generation. Apalagi pengurunan kemiskinan, hidup sehat, dan penyedia air bersih adalah tiga dari 17 tujuan pembangunan berkelanjutan yang harus dicapai pada 2030.

Faktor-faktor penyebab

Kejadian gizi buruk di Kabupaten Sumba Barat Daya, berdasarkan laporan Dinas Kesehatan 2010, menduduki peringkat ketiga (1,3%) dan menempati peringkat ke-9 (4,9%) kabupaten dengan gizi kurang tertinggi di NTT. Kecamatan Kodi Utara di Sumba Barat Daya merupakan salah satu kecamatan dengan kejadian gizi buruk dan gizi kurang tertinggi pada 2013. Kejadiannya mencapai 0,60% dari 4.321 balita yang datang ke posyandu.

Dari studi literatur diketahui banyak faktor yang dilaporkan berhubungan dengan gizi buruk dan gizi kurang, antara lain sosial ekonomi, faktor pada ibu dan faktor lingkungan. Dalam riset kami, ada 13 faktor risiko (variabel independen) yang diteliti, tapi di sini kami sajikan lima variabel yang terpenting saja:

  1. Pendapatan keluarga;
  2. Frekuensi sakit anak;
  3. Pendidikan ibu;
  4. Frekuensi penimbangan anak di posyandu;
  5. Sumber air minum.

Keluarga berpendapatan di bawah Rp234.141 per bulan berisiko lebih tinggi (15 kali) anaknya mengalami gizi kurang ketimbang anak dari keluarga berpendapat di atas angka tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Anwar di Lombok Timur pada 2005 juga menemukan ada pengaruh antara pendapatan keluarga dengan gizi buruk dan kurang. Dengan kata lain minimnya pendapatan yang membuat miskin menjadi penyebab gizi buruk.

Balita yang dalam 6 bulan menderita sakit lebih dari 3 kali meningkatkan risiko 35 kali mengalami gizi kurang dibandingkan dengan balita yang dalam 6 bulan mengalami sakit kurang dari 3 kali. Temuan hampir sama dengan hasil riset Diah (2011) dari Universitas Udayana di Kecamatan Kelapa Lima Kota Kupang yang menyatakan kejadian gizi buruk dan kurang akan berisiko pada anak yang sering mengalami sakit daripada anak yang jarang sakit.

Baca juga: Lalapan dan Salad Rentan Tercemar Telur Cacing