Misophonia, Fobia Terhadap Suara Tertentu

By , Jumat, 27 April 2018 | 15:00 WIB

Pernahkah merasa jengkel saat mendengar suara orang mengecap makanan, atau suara saat minum, atau ketukan jari-jari di atas meja

Jika jawaban dari pertanyaan di atas adalah "iya", bisa jadi kamu mengalami misophonia.

Misophonia adalah kondisi neurofisiologis di mana orang memiliki reaksi negatif yang tak proporsional terhadap suara tertentu.

Baca juga: Apakah Kita Takut Terhadap Laba-Laba dan Ular Sejak Lahir?

Orang dengan kondisi ini sadar bahwa mereka bereaksi berlebihan terhadap suara tertentu. Namun sayangnya mereka tak bisa mengendalikan reaksi yang timbul.

Ada berbagai banyak pemicu yang menyebabkan reaksi dari orang-orang yang menderita misophonia ini. Namun, pemicu utama adalah suara yang terkait dengan mulut atau makan, bernapas atau suara hidung, dan suara jari atau tangan.

Bukti menunjukkan, rasa benci pada suara ini berkembang saat masa kecil dan cenderung memburuk seiring waktu. Orang dengan misophonia biasanya semakin bereaksi jika pemicunya disebabkan oleh anggota kelaurganya sendiri, ketimbang orang lain.

Reaksi penderita kelainan ini cenderung emosional. Biasanya, hal paling umum adalah amarah yang memuncak, mulai dari gangguan ringan, hingga kemarahan ekstrim.

Baca juga: Paraskevidekatriaphobia, Ketakutan Terhadap Hari Jumat Tanggal 13

Mereka juga dapat merasakan respons emosional yang kuat lainnya, seperti kecemasan atau jijik. Respon fisiologis termasuk peningkatan tekanan darah dan detak jantung, berkeringat, dan kontraksi otot.

Kita mungkin menganggap bahwa setiap orang, pada tingkat tertentu, memiliki respons negatif terhadap bunyi tertentu, seperti bunyi ketukan yang tiba-tiba, keras, atau jeritan bernada tinggi.

Namun dalam misophonia, orang dapat bereaksi terhadap suara yang sebenarnya bukanlah suara yang mengganggu, seperti berbisik atau bernafas lembut. Bahkan, suara senyap pun dapat membangkitkan reaksi misofonik seperti bunyi yang keras.

Para peneliti telah menyelidiki apakah misophonia terkait dengan kondisi kejiwaan atau fisik lainnya, seperti tinnitus, gangguan obsesif-kompulsif, gangguan makan atau gangguan stres pasca-trauma.

Bukti menunjukkan, meskipun faktor-faktor tersebut mengarah pada beberapa asosiasi dengan kondisi ini, namun hal tersebut tak dapat menjelaskan sepenuhnya tentang gejala misophonia.

Dengan kata lain, ini menunjukkan misophonia adalah kondisi yang terpisah dan independen dalam diri manusia. Cukup mengabaikan suara-suara yang mengganggu tidak mungkin mengakibatkan misophonia.

Tampaknya, memperhatikan suara tertentu dapat memperburuk kondisi orang yang menderita kelainan ini, terutama suara yang memicunya.

Jadi, setiap kali seseorang dekat dengan suara yang dianggap buruk, dan perhatian mereka terpaku pada hal itu, satu-satunya pilihan adalah melawan atau melarikan diri.

Sebuah riset tentang penderita misophonia menemukan, 29 persen penderita menjadi agresif secara verbal ketika mendengar suara pemicu mereka.

Sementara itu, sebesar 17 persen lebih mengarahkan agresi mereka terhadap objek. Dan, sebesar 14 persen melaporkan, mereka secara fisik agresif terhadap orang lain ketika mendengar suara pemicu.

Umumnya, para penderita misophonia merasakan efek negatif dari hal itu pada kehidupan mereka, sehingga mereka sering menghindari situasi sosial, hingga merusak hubungan. Celakanya lagi, beberapa penderita berpikir bahwa kelainan ini telah mengambil kehidupan mereka.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com. Baca artikel sumber.