Nationalgeographic.co.id—Selai dan roti, bunga dan kumbang, Romeo dan Juliet, seolah dunia diciptakan untuk saling berpasang-pasangan. Meskipun demikian tidak sedikit orang yang memilih hidupnya untuk sendiri. Bahkan mereka dapat menemukan kebahagiaan dalam kelajangan yang ia jalani.
Baru-baru ini Jurnal Psikologi Konseling oleh Sindhy Mariam M P dan Christiana Hari Soetjiningsih, menemukan kebahagian pada wanita berusia madya yang masih melajang. Mereka melakukan penggalian kepada dua partisipan yang masing-masing berusia 54 dan 52 tahun. Dua sample tersebut merupakan seorang wanita karir yang belum memutusakan untuk menikah meskipun telah menginjak usia paruh baya.
Sindhy dan Christiana mengatakan, “Saat ini di Indonesia terjadi fenomena wanita karier memilih berstatus lajang meskipun dirinya sudah memasuki masa dewasa madya”.
Hal ini juga dibuktikan dengan riset yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik pada 2016. Data menunjukan selama tahun 2012 hingga 2015, angka pernikahan mengalami penurunan sepanjang tahun. Selain itu indeks kebahagian pada tahun 2017 menunjukan bahwa orang yang belum menikah memiliki angka indeks yang lebih tinggi dibandingkan dengan masyrakat yang bersetatus kawin.
Di Indonesia seringkali wanita yang melajang mendapatkan pelabelan atau stigma negatif dari masyarakat sekitar. Hal ini tentu berdampak pada kondisi psikologi para wanita yang belum menikah. Lantas bagaimana kemudian kebahagian dapat menyertai wanita yang masih melajang?
Penelitian mereka berhasil mengungkap kebahagian pada wanita yang melajang. Mereka mendefinisikan kebahagian melalui beberapa faktor, diantaranya: Hubungan positif dengan orang lain, keterlibatan penuh, penemuan makna dalam keseharian, optimism realistis, dan resiliensi.
Baca Juga: Raup Rp2,8 Miliar dari Jualan Kentut, Wanita ini Kini Dirawat di RS
Kedua partisipan mengungkapkan bahwa mereka memiliki hubungan positif dengan orang-orang sekitar. Kehadiran orang-orang terdekat dibutuhkan untuk memberikan dukungan, bantuan, dan perhatian. Mereka juga terlibat secara penuh pada pekerjaan yang mereka miliki.
Dalam mengisi waktu luang, mereka memilih untuk melakukan hobi yang ia miliki. Partisipan satu menghabiskan waktu kosongnya dengan aktifitas menanam tanaman, membersihakan rumah, memasak makanan sehat, dan berolahraga. Sedangkan pada partisipan dua mengisi waktu luangnya dengan mengajar memasak pada keponakanaya, meskipun seringkali terhambat pada aktivitas kantor.
Dalam menemukan makna keseharian, mereka memandang jatuh bangun dalam kehidupan merupakan hal yang biasa. Melalui fase-fase tersebut menjadikan sebuah pembelajaran bagi mereka untuk dapat lebih dewasa dalam meyikapi segala sesuatu.
Kedua partisipan sama-sama memiliki optimisme dalam melihat masa depan. Mereka memiliki impian dan harapan yang positif dan merasa puas dengan kehidupanya. Partisipan satu memandang hal-hal positif yang ada dalam dirinya yaitu memiliki fisik yang sehat, selalu menyadari untuk tetap rendah hati, belajar dari penglaman untuk menjadi lebih baik, dan memiliki keinginan untuk selalu belajar serta menyenangkan orang lain.
Pada Partisipan dua, ia selalu menjalani segala sesuatu dengan rasa penuh suka cita. Dirinya bercita-cita memiliki investasi bilamana sudah tidak bekerja lagi, sehingga ia tetap mendapatkan penghasilan. Selain itu dia juga memiliki impian untuk hidup bebas dan dapat bertualang keliling dunia.
Partisipan satu memandang kebahagiannya dapat diraih melalui pendidikan yang tinggi, berpenghasilan, serta menjalani kehidupan dengan nilai-nilai religius. Sedangkan pada partisipan dua kebahagianya dapat diraih ketika berhasil mengurus keponakannya yang ia anggap sebagai titipan Tuhan.
Faktor religius memiliki pengaruh yang kuat bagi kedua partisipan. Dalam menjalani keterpurukan, keduanya menggunakan nilai-nilai keagamaan untuk kemudian bangkit dari masa-masa pahit, Hal ini pernah dikatakan Sligman (2005) dalam bukunya yang berjudul “Authentic Happiness: Menciptakan Kebahagiaan Dengan Psikologi Positif”, bahwa orang yang lebih religius (akan) lebih bahagia daripada orang yang tidak religius.
“Bagi wanita madya yang memutuskan untuk melajang tetap dapat menemukan kebahagianya melalui terjalinnya hubungan yang positif dengan orang lain, melibatkan diri secara penuh pada kegiatan-kegiatan yang disukai, menemukan makna dalam keseharian, memiliki sikap optimis dan mampu bangkit kembali setelah mengalami peristiwa-peristiwa yang menyedihkan (resiliensi). Berdoa juga dapat menjadi kunci dalam menjalani hidup yang penuh suka cita," ungkap Sindhy dan Christiana.
Baca Juga: Pertama Kalinya, Wilayah Otak yang Merespons Klitoris Dipetakan