Perkecuan di Klaten Akibat Krisis Petani Perkebunan Belanda Sejak 1875

By Galih Pranata, Selasa, 25 Januari 2022 | 16:00 WIB
Potret polisi Hindia-Belanda yang telah berhasil menangkap seorang kecu di Jawa sekitar tahun 1870. (KITLV)

Nationalgeographic.co.id—Wilayah Karesidenan Surakarta, termasuk Klaten di dalamnya, memiliki perbedaan yang signifikan dalam hal pengorganisasian antara perkebunan tembakau dan tebu.

Hampir tak pernah ada laporan tentang demonstrasi petani di perkebunan tembakau selama abad ke-20. Ririn Darini bersama dengan Dyah Ayu Anggraheni Ikaningtyas dan Mudji Hartono, menulis kepada jurnal Mozaik.

Hasil penelitiannya dituangkan ke dalam jurnal berjudul Zuiker Onderneming di Kabupaten Klaten 1870-1942: Pengaruhnya dalam Bidang Sosial dan Ekonomi, yang dipublikasikan pada tahun 2019.

"Petani di areal tebu pada saat menunggu musim tebang yang memakan waktu selama delapan bulan, harus mencari sumber matapencaharian lain sendiri," tulis Ririn Darini dan tim.

Kondisi tersebut menjadi krisis tersendiri bagi para petani yang umumnya tak memiliki modal dan keterampilan di luar sektor pertanian. Faktor inilah yang disinyalir mendorong munculnya tindakan kriminal di areal perkebunan.

Tebu sebagai komoditas utama pemerintah kolonial dengan keuntungan yang menjanjikan, pada kenyataannya tak dirasakan oleh pribumi atau kaum bumiputera di Klaten.

Kondisi sosial masyarakat di sepanjang kawasan Vostenlanden (membentang dari Surakarta-Yogyakarta) selama berjayanya industri gula, digambarkan sangat buruk, utamanya masyarakat Klaten.

Para petani di perkebunan tebu dan indigo, memiliki kewajiban untuk menyerahkan tanahnya kepada pabrik gula selama 15 bulan, di mana tenaga petani beserta dengan anak dan istrinya turut terserap ke dalam kegiatan perkebunan selama 5 sampai 6 bulan.

Parahnya lagi, upah kerja yang diterima oleh para petani tebu tak sebanding dengan tenaga yang mereka kerahkan selama di perkebunan. Masa tunggu dan upah rendah mendorong meningkatnya kriminalitas.

Gondang-Winangoen di Klaten. (KITLV)

Tercatat, sekitar tahun 1911, rata-rata upah petani tebu di Klaten berkisar antara f.0,20 hingga f.0,30 per hari. Perbandingannya adalah jika dihadapkan dengan harga beras yang mencapai f.10,53 pada tahun yang sama.

Adanya ketidaksenangan petani dengan sistem kapitalisme di perkebunan dan industri gula milik pemerintah kolonial, memunculkan gejolak sosial bagi para petani.