Nationalgeographic.co.id—Kita tentu masih ingat karya seni berupa pisang yang ditempel dengan lakban perak pada 2019. Dua edisi pertamanya terjual 120.000 dolar AS, sedangkan edisi ketiganya naik jadi 150.000 dolar. Karya berjudul Comedian itu dibuat oleh Maurizio Cattelan, seniman italia yang dikenal kritis dan penuh kontroversial.
Pada 7 Desember 2019, seniman David Datuna melepas dan memakan pisang yang masih dipamerkan di pertunjukan seni Art Bassel. Tindakannya itu dianggap sebagai bagian penampilan seni sebagai karya baru Hungry Artist. Pihak galeri sendiri tidak memasalahkan Datuna karena ide ini disetujui oleh kedua pihak sebagai seni yang dimakan langsung oleh seniman.
Tiga tahun berselang, Indonesia diramaikan oleh Ghozali Everyday dengan lakunya swafoto yang dihimpun sejak 2017 hingga 2021 dalam bentuk Non-Fungiable Token (NFT). Sontak, lewat karya itu Ghozali meraup keuntungan miliaran rupiah dari aplikasi OpenSea. Putaran berikutnya yang khas Indonesia, muncul 'kelatahan' yang mencoba mengikuti jejaknya.
Kita melihat banyak karya yang dianggap bernilai dan harganya tinggi. Tetapi kalangan awam akan sulit mengerti, mengapa harga seni yang "terlihat sepele" dapat mendapatkan pundi-pundi miliaran rupiah, dan mengapa ada orang yang ingin mengoleksinya?
Mikke Susanto, pengajar Program Studi Tata Kelola Seni, Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta menyebut, karya seni atau koleksi secara umumnya esensinya merupakan barang bernilai tidak berwujud (intangable goods).
"Meski kita tahu wujudnya ada tetapi nilai dibalik benda itu justru yang paling tinggi untuk diperebutkan," ujarnya dalam ceramah seni Harga Sebuah Mitos: Nilai-nilai Benda Seni Budaya Sebagai Koleksi, Selasa 24 Januari 2022. Ceramah seni ini digelar oleh Asosiasi Museum Indonesia Jakarta: Paramita Jaya.
"Aset intangible ini merupakan sumber keuntungan masa depan yang berwujud non fisik. Nah, di dalam aset intangible ini terdapat banyak hal, di antaranya semangat, nostalgia, spiritualitas, inspirasi, kreativitas, dan emosi yang bersatu di dalamnya. Dalam konteks ini karya seni bukan perkara ekonomi melainkan aset atau artefak budaya, baik bagi pribadi maupun milik bangsa."
Sayangnya, lanjutnya, seni jika dilihat lewat kacamata ekonomi sering terlihat kecil bila tidak mirip dengan sektor lainnya. Akibatnya, seni kerap direduksi ekonom sebagai komoditas sehingga yang tadinya seni adalah tentang nilai, menjadi tentang harga.
Padahal, untuk memahami nilai pada karya seni koleksi memiliki ragam cara pandang yang berpengaruh.
Pertama, karya seni bisa dilihat dari nilai fundamentalnya karena ia sangat bergantung pada kemampuan artistik dan posisi pembuatannya dalam periode sejarah. Biasanya yang mengetahui nilai fundamental adalah mereka yang mengetahui sejarah dan pengaruh peristiwa terkait konteks masanya atau seni.
Contohnya adalah pembelian karya oleh museum pagelaran atau pameran-pameran. Penentu nilai fundamental di sini adalah yang memiliki pengetahuan seperti konservator, kolektor, kurator, sejarawan, kritikus, dan makelar seni.
Berikutnya ada nilai ekonomi karena sejatinya memiliki harga yang bisa sejajar dengan nilai mata uang, terang Mikke.
"Jadi ini prinsip ekonomi. Sejatinya, nilai ekonomi paralel dengan nilai pasar. Bergantung pada kesediaan konsumen membayar harga yang ditentukan oleh penjual. Artinya, nilai ekonomi bisa menjadi bagian dari nilai-nilai lainnya," lanjutnya.
Contohnya beberapa produk fashion Louis Vuitton yang bekerja sama dengan seniman tersohor, yang mengakibatkan harganya bisa sangat mahal. Tahun ini perusahaan itu merilis tas edisi terbatas yang dirancang Yayoi Kusama dengan harga mendekati dua triliun rupiah.
Karena karya seni memiliki banyak unsur di dalamnya, seperti alat atau wadah, komposisi, dan teknis yang digunakan, perlu juga menyadari nilai kritis sebagai cara memandangnya. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi nilai-nilai objektif yang ada di dalam suatu karya.
Terlebih, bila suatu karya ini dibuat oleh seniman maestro yang punya ciri khas khusus sehingga membuatnya sangat bernilai untuk dikoleksi.
Belum lagi cara pandang nilai simbolik ketika ide menjadi bagian di dalamnya. Mikke mengutarakan, nilai ini juga bergantung pada cara pandang orang yang mengapresiasinya, termasuk di dalamnya adalah prestise pemilik benda atau koleksi.
Mikke berpendapat, jika cara pandang ini menjadi faktor betapa nilainya suatu karya seni, perdebatan cara pandang pastinya akan terjadi seperti bagi apa yang dilakukan kolektor NFT pada apa yang dibuat Ghozali Everyday.
"Ini menemukan momentumnya, nilai dan mitos baru. Yang pertama dunia NFT mempertemukan ketidakmungkinan teoritis bahwa tidak semua orang adalah seniman. Artinya, ini menantang para seniman profesional untuk berlaku lebih kreatif tanpa membahayakan nyawa," ujarnya.
Walau Ghozali tidak memiliki reputasi atau sejarah sebagai seniman, seperti karyanya pernah dipamerkan dalam koleksi, ia mampu memberikan ide dan implementasi yang meyakinkan.
Mikke teringat pada seniman Rembrandt van Rijn yang melukis dirinya dari muda hingga menjelang kematian. Rembrandt menggunakan cat minyak sehingga dinilai lebih kuat secara aspek daripada Ghozali.
"Konstruksi mitos (nilai) telah membuat jaring publikasi--ini yang tidak dimiliki Rembrandt sebenarnya. Ada dua kemungkinan Ghozali bisa meneruskan cita-citanya sebagai seniman atau dia selesai setelah membayar pajak, jadi kita bisa lihat nanti di beberapa bulan kedepan apa yang terjadi," terang Mikke.
Baca Juga: Gim Ini Akan Dibuat dengan Mengkloning Dunia Nyata Sebagai Metaverse
"Terakhir, [Ghozali lewat NFT mendapatkan] respon digital yang menciptakan infrastuktur yang baru, [seperti] media digital, like and comment, kemudian marketplace semakin menguat dan seni semakin mencair—sesungguhnya seni itu seperti gas, berbau tetapi tidak terasa."
Infrastruktur seni adalah hal yang penting untuk menjadi asal muasal nilai budaya terbentuk sebagai koleksi, lanjutnya. Lewat infrastruktur seperti apresiasi lewat pementasan atau pameran, membuat masyarakat membantu menaikkan nilai seni.
"Itu juga yang menyebabkan Yogyakarta sebagai kota seni karena infrastrukturnya banyak, tidak seperti kota-kota lain misalnya Magelang, Surabaya," urai Mikke. "Infrastruktur sangat berpengaruh terhadap apresiasi warganya untuk mendalami nilai budaya. Apa jadinya jika ada karya kalau tidak ada pameran, orang-orang tidak akan memahami nilai di dalamnya."
Baca Juga: Tradisi Modifikasi Tubuh Manusia: Tato hingga Pemanjangan Tengkorak