Jatuh Cinta di Masa Pergerakan: Melawan Batasan Ras dan Kolot Orangtua

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Kamis, 27 Januari 2022 | 11:00 WIB
Everdina Broering (kiri) dan Dr. Soetomo (kanan) adalah salah satu contoh pasangan campuran di Hindia Belanda. Jatuh cinta di masa pergerakan sangat berbeda dari pandangan kolot yang menjodohkan anaknya pada kalangan tertentu. (Museum Dr. Soetomo)

"Tidak lagi sekadar dijodohkan oleh orang tua atau dipaksa kawin dengan pilihan orang tua," tulisnya. Ismi berpendapat, pengaruh percintaan modern ini juga muncul dari bacaan atau tayangan media Barat yang dikonsumsi pemuda-pemudi masa itu.

Sayuti Melik (kiri), S.K Trimurti (kanan) bersama kedua anaknya. Sayuti Melik mengajak S.K Trimurti menikah setelah sebelumnya sahabat dekat yang suka beradu debat. (Keluarga S.K. Trimurti)

Beberapa karya sastra cinta Indonesia masa ini pun memberikan kritiknya pada kawin paksa dan perjodohan orang tua. Contohnya seperti Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk dan Siti Nurbaya. Perjodohan kerap dianggap tidak adil bagi wanita karena tidak memiliki kehendak atas kehidupannya sendiri soal cinta.

Salah satu contoh cinta lahir dari teman dekat adalah S.K Trimurti dan Sayuti Melik yang awalnya adalah teman berdebat, apa lagi soal politik. Suatu saat dalam perdebatan, Sayuti mengajak menikah Trimurti dengan mengatakan: "Kelihatannya kita bisa bekerja sama. bagaimana kalau kau menjadi istri saya?"

Ucapan itu, menurut Ismi, Sayuti adalah sosok pribumi yang terpelajar dan tidak bersikap patriariki, yang mana kondisi ini masih sangat kuat di Hindia Belanda. Dia tidak melarang pasangannya untuk bekerja atau merasa tersaingin dengan kesibukan perempuan di pergerakan, tetapi menginginkan bisa diajak gerak bersama di jalur politik.

Baca Juga: Saat Belanda Menguasai Hutan Blora, Ditentang Samin dan Pengikutnya

Cinta adalah perjuangan

Praktik politik kolonialisme dan feodalisme sangat kuat di Hindia. Politik kolonial membuat strata sosial yang menyebabkan ketimpangan struktural dan rasialisme. Akibatnya, kalangan yang bersekolah dalam sistem Barat, bermunculan pandangan anti-feodalisme yang sangat kolot untuk melihat calon pasangan dengan asal-usul keturunan.

Semaun lewat Hikayat Kadiroen mengkritik faktor keturunan yang diperhitungkan kalangan feodal, padahal seharusnya penentuan pasangan adalah hak laki-laki dan perempuan yang sedang jatuh cinta berdasarkan kecocokan.

"Seorang lelaki hanya akan betul-betul mencintai seorang perempuan, jika watak, jiwa, dan pikiran si perempuan memiliki kecocokan dengan si lelaki. Begitu pula sebalinya seorang perempuan terhadap seorang lelaki. Cinta sejati adalah jika ia melihat dirinya sendiri dalam diri orang lain," tulis Semaun.

Kolonialis lewat doktrin orang kulit putih lebih beradab dan lebih tinggi derajatnya, membuat standar kecantikan dengan ciri fisik ras Eropa.

Seorang pria Eropa dengan perempuan lokal berfoto keluarga bersama anak-anaknya sekitar 1920. Anak hasil perkawinan campur masuk dalam golongan Indo yang liyan, antara harus masuk Eropa atau Inlander. (KITLV)

Akibatnya, terang Ismi, lelaki terpelajar pribumi menyukai perempuan pribibumi dengan gaya Eropa. Hal itu tergambarkan oleh Swan Pen lewat Melati van Agam tentang tokoh pria yang tertarik pada wanita peribumi yang memiliki roman cantik seperti nona Belanda dan memakai gaun.

Tak sedikit pula pribumi yang tertarik dengan kalangan Eropa. Hal itu disebabkan sentimen politik ini, terang Ismi.

"Salah satunya adalah menjalin percintaan dengan bangsa kulit putih dengan alasan mengimbangi keunggulan bangsa kulit putih. Menaklukan hati seorang kulit putih dimakanai sebagai kemenangan sebab bangsa yang dijajah mampu berdiri sejajar dengan bangsa penjajah," lanjtnya.

Contoh ini sangat tampak pada Sukarno saat berusia 14 tahun dan bersekolah di Europeesche Lagere School (LGS). Dia mengaku pernah mencium gadis Belanda bernama Rika Meelhuysen dan selalu menarik perhatiannya saat melewati rumah untuk curi-curi pandang.

Ketika tahu Sukarno bersepeda dengan gadis Belanda, ayahnya tidak keberatan karena sosialisasi itu bisa mengembangkan bahasa Belandanya. Padahal, ada alasan politis pada obsesi Sukarno, yaitu untuk menandingi kekuatan kulit putih lewat percintaan dan rasa kebanggaan.

Baca Juga: Kisah Cinta Terpendam 1.500 Tahun Pangeran Persia dan Putri Korea