Jatuh Cinta di Masa Pergerakan: Melawan Batasan Ras dan Kolot Orangtua

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Kamis, 27 Januari 2022 | 11:00 WIB
Everdina Broering (kiri) dan Dr. Soetomo (kanan) adalah salah satu contoh pasangan campuran di Hindia Belanda. Jatuh cinta di masa pergerakan sangat berbeda dari pandangan kolot yang menjodohkan anaknya pada kalangan tertentu. (Museum Dr. Soetomo)

"Cinta bukan melemahkan hati, bukan membawa putus asa, bukan menimbulkan tangis sedu-sedan. Tetapi cinta menghidupkan pengharapan, menguatkan hati dalam perjuangan menempuh onak dan duri penghidupan."

Nationalgeographic.co.id—Demikianlah kutipan buku Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk yang  terbit pertama kali tahun 1933 oleh Buya Hamka. Pada masanya, buku-buku cinta berbahasa Indonesia atau Melayu marak diperjualbelikan, dan memberikan gambaran bagaimana cinta diekspresikan secara beragam pada era kolonialisme.

Misalnya, selain yang disebutkan di atas, terdapat Hikayat Kadiroen oleh SemaunSiti Nurbaya oleh Marah Rusli, Salah Asuhan oleh Abdoel Moeis, Layar Terkembang oleh Takdir Alisyahbana, Student Hidjo oleh Marco Kartodikromo, dan masih banyak lagi.

Menurut para pengamat sastra, karya sastra itu mengandung unsur kritik dan gagasan para penulisnya. Biasanya yang diangkat berhubungan dengan perlawanan terhadap adat, ketimpangan struktural yang jadi masalah era kolonial, dan rasialisme.

Sejarawan Universitas Gadjah Mada Sartono Kartodirdjo dan rekan-rekan dalam buku Perkembangan Peradaban Priyayi menulis, perkembangan sastra dan gagasan itu disebabkan pengalaman kalangan bumiputra ketika mengayomi sistem pendidikan Barat. Berkat dibukanya sekolah bergaya Barat, pergaulan bercampur untuk bergaul.

Cukup Siti Nurbaya

Masyarakat tradisional tidak terbiasa dengan sistem pendidikan yang sangat terbukaitu, terutama dengan bertemunya laki-laki dan modern dalam sekolah dan menumbuhkan pengalaman cinta.

Lantaran, kalangan pribumi dan Tionghoa kolot yakin cinta hanya bisa tumbuh sendirinya setelah diikat dalam tali perkawinan tanpa pacaran dan tunangan.

Sejak kecil, anak-anak terbiasa untuk patuh mengikuti keputusan orangtua atas hidup mereka, dan itu terus belangsung sampai dewasa, termasuk ikut campur mencari jodoh dan menganggap lancang bila sang anak mendengar kabar perjodohan dari orangtua.

Keresahan ini sangat nampak pada pandangan Kartini lewat surat-suratnya dengan rekan Belandanya, Zeehandelar. Kartini mengeluh perkawinan bisa jadi azab bila ada cinta yang tumbuh sebelum ada perkawinan, dan akan dianggap durhaka bila melawan perjodohan.

"Mereka hanya perlu menerima apa pun keadaan dan kerpibadian dari pasangan yang dipilihkan orang tua. Pada awal abad ke-20, ketika modernitas semakin mempengaruhi banyak aspek dalam kehidupan, lahir pola-pola baru mencari cinta," tulis Ismi Indriani dari Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran dalam Jurnal Sejarah tahun 2021.

Dalam makalah berjudul Mencari Cinta pada Masa Pergerakan, Ismi menuturkan, kalangan pribumi yang mendapat sistem Barat ini memiliki kesempatan untuk mengalami proses penemuan cinta lewat berbagai cara. Seperti sekarang, mereka bisa menemukan cinta sejak kali pertama bertemu, atau berawal teman dekat hingga akhirnya saling cinta.

"Tidak lagi sekadar dijodohkan oleh orang tua atau dipaksa kawin dengan pilihan orang tua," tulisnya. Ismi berpendapat, pengaruh percintaan modern ini juga muncul dari bacaan atau tayangan media Barat yang dikonsumsi pemuda-pemudi masa itu.

Sayuti Melik (kiri), S.K Trimurti (kanan) bersama kedua anaknya. Sayuti Melik mengajak S.K Trimurti menikah setelah sebelumnya sahabat dekat yang suka beradu debat. (Keluarga S.K. Trimurti)

Beberapa karya sastra cinta Indonesia masa ini pun memberikan kritiknya pada kawin paksa dan perjodohan orang tua. Contohnya seperti Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk dan Siti Nurbaya. Perjodohan kerap dianggap tidak adil bagi wanita karena tidak memiliki kehendak atas kehidupannya sendiri soal cinta.

Salah satu contoh cinta lahir dari teman dekat adalah S.K Trimurti dan Sayuti Melik yang awalnya adalah teman berdebat, apa lagi soal politik. Suatu saat dalam perdebatan, Sayuti mengajak menikah Trimurti dengan mengatakan: "Kelihatannya kita bisa bekerja sama. bagaimana kalau kau menjadi istri saya?"

Ucapan itu, menurut Ismi, Sayuti adalah sosok pribumi yang terpelajar dan tidak bersikap patriariki, yang mana kondisi ini masih sangat kuat di Hindia Belanda. Dia tidak melarang pasangannya untuk bekerja atau merasa tersaingin dengan kesibukan perempuan di pergerakan, tetapi menginginkan bisa diajak gerak bersama di jalur politik.

Baca Juga: Saat Belanda Menguasai Hutan Blora, Ditentang Samin dan Pengikutnya

Cinta adalah perjuangan

Praktik politik kolonialisme dan feodalisme sangat kuat di Hindia. Politik kolonial membuat strata sosial yang menyebabkan ketimpangan struktural dan rasialisme. Akibatnya, kalangan yang bersekolah dalam sistem Barat, bermunculan pandangan anti-feodalisme yang sangat kolot untuk melihat calon pasangan dengan asal-usul keturunan.

Semaun lewat Hikayat Kadiroen mengkritik faktor keturunan yang diperhitungkan kalangan feodal, padahal seharusnya penentuan pasangan adalah hak laki-laki dan perempuan yang sedang jatuh cinta berdasarkan kecocokan.

"Seorang lelaki hanya akan betul-betul mencintai seorang perempuan, jika watak, jiwa, dan pikiran si perempuan memiliki kecocokan dengan si lelaki. Begitu pula sebalinya seorang perempuan terhadap seorang lelaki. Cinta sejati adalah jika ia melihat dirinya sendiri dalam diri orang lain," tulis Semaun.

Kolonialis lewat doktrin orang kulit putih lebih beradab dan lebih tinggi derajatnya, membuat standar kecantikan dengan ciri fisik ras Eropa.

Seorang pria Eropa dengan perempuan lokal berfoto keluarga bersama anak-anaknya sekitar 1920. Anak hasil perkawinan campur masuk dalam golongan Indo yang liyan, antara harus masuk Eropa atau Inlander. (KITLV)

Akibatnya, terang Ismi, lelaki terpelajar pribumi menyukai perempuan pribibumi dengan gaya Eropa. Hal itu tergambarkan oleh Swan Pen lewat Melati van Agam tentang tokoh pria yang tertarik pada wanita peribumi yang memiliki roman cantik seperti nona Belanda dan memakai gaun.

Tak sedikit pula pribumi yang tertarik dengan kalangan Eropa. Hal itu disebabkan sentimen politik ini, terang Ismi.

"Salah satunya adalah menjalin percintaan dengan bangsa kulit putih dengan alasan mengimbangi keunggulan bangsa kulit putih. Menaklukan hati seorang kulit putih dimakanai sebagai kemenangan sebab bangsa yang dijajah mampu berdiri sejajar dengan bangsa penjajah," lanjtnya.

Contoh ini sangat tampak pada Sukarno saat berusia 14 tahun dan bersekolah di Europeesche Lagere School (LGS). Dia mengaku pernah mencium gadis Belanda bernama Rika Meelhuysen dan selalu menarik perhatiannya saat melewati rumah untuk curi-curi pandang.

Ketika tahu Sukarno bersepeda dengan gadis Belanda, ayahnya tidak keberatan karena sosialisasi itu bisa mengembangkan bahasa Belandanya. Padahal, ada alasan politis pada obsesi Sukarno, yaitu untuk menandingi kekuatan kulit putih lewat percintaan dan rasa kebanggaan.

Baca Juga: Kisah Cinta Terpendam 1.500 Tahun Pangeran Persia dan Putri Korea