Hutan Indonesia Cuma Berdampak Kecil Pada Target Pengurangan Emisi

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Jumat, 28 Januari 2022 | 11:00 WIB
Hutan hujan tropis di Kalimantan. Walau memiliki dampak yang besar untuk pengurangan emisi, ternyata angkanya masih kalah pada produksi emisi itu sendiri. Mampukah Indonesia mengejar target yang ditetapkannya sendiri? (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

Selain menganalisis efektivitas skema, Groom dan rekan-rekan mencari tahu bagaimana investasi Norwegia terhadap pengurangan nilai karbon dari Indonesia. "Skala keuangan perlu jauh lebih besar agar implementasi menjadi efektif," tambahnya.

Indonesia sudah bermitra dengan Norwegia sejak 2011 untuk mengurangi emisi karbon dari deforestasi lewat moratorium pemberian izin baru untuk kelapa sawit, penebangan dan konsensi kayu.

Norwegia bahkan menjanjikan satu miliar dolar AS pada Indonesia untuk pembayaran berbasis kinerja untuk pengurangan emisi karbon di sektor kehutanan.

Kemitraan itu sendiri adalah bagian dari kerangka kerja interasional untuk Pengurangan Emisi dari Deofrestasi dan Degradasi Hutan (REDD+) yang didirikan pada Conference of the Parties (COP13). Lewat kerangka kerja ini, Norwegia juga berkomitmen membayar 5 dolar per ton karbon jika negara-negara tropis yang kaya hutan itu berhasil mengurangi emisinya dari deforestasi.

Tahun 2019, Norwegia sepakat untuk membayar 56,2 juta dolar AS untuk mencegah perkiraan emisi sebesar 11,23 juta ton karbon pada 2017. Tetapi, para peneliti berpendapat, perkiraan itu menggunakan rata-rata laju deforestasi Indonesia dan bukan tidak memasukkan wilayah moratorium, sehingga bukanlah ukuran akurat untuk mengetahui efektivitas program ini.

Maka metode yang dilakukan Groom dan tim adalah dampak kebijakan yang mapan untuk memperkirakan pengurangan emisi karbon. Selama 2011 sampai 2017, periode ini menandakan moratorium lebih efektit daripada yang disarankan dalam perhitungan tahun 2019. Artinya, Norwegia kurang efektif membayar uang kepada Indonesia untuk pengurangan emisi karbon.

"Kami menemukan bahwa Norwegia mungkin harus membayar lebih banyak karena dampaknya dimulai jauh lebih awal, dari tahun 2013 kami memperkirakan beberapa perubahan sederhana tetapi signifikan secara statistik," ujar Groom. "Namun, pembayarannya hanya dihitung untuk tahun 2018, tanpa kontrafaktual yang tepat."

Norwegia saat ini sedang mencari cara efektif dalam berinvestasi pada pengurangan emisi karbon. Groom berpendapat, pada akhirnya harus ada lebih banyak upaya seperti yang dilakukan Norwegia di dunia.

Baca Juga: Iklim Kian Terpuruk, Kenali Lahan Gambut untuk Mencapai Karbon Netral