Sayuran Hijau Telah Disajikan Lebih dari 3.500 Tahun yang Lalu

By Ricky Jenihansen, Selasa, 1 Februari 2022 | 12:00 WIB
Sayuran hijau. Para peneliti telah memeriksa lebih dari 450 tembikar prasejarah, 66 di antaranya mengandung jejak lipid, yaitu zat yang tidak larut dalam air. (howstuffworks)

Nationalgeographic.co.id—Hidangan dari sayuran berdaun diketahui banyak dihidangkan di Afrika Barat, seperti misalnya daun yam tumbuk di selatan wilayah tersebut. Sekarang, para peneliti yang dipimpin Goethe University Frankfurt menemukan asal usul hidangan tersebut berasal dari 3.500 tahun yang lalu.

Sayuran berdaun hijau, misalnya daun pohon yang dimasak seperti baobab (Adansonia digitata) atau shrubby (tumbuhan semak), daun Afrika (Vernonia amygdalina), menemani banyak hidangan Afrika Barat. Saus dari daun-daun ini disempurnakan dengan rempah-rempah dan sayuran serta ikan atau daging, dan melengkapi makanan pokok bertepung dari hidangan utama, seperti daun yam tumbuk di bagian selatan Afrika Barat atau bubur kental yang terbuat dari millet mutiara di sabana yang lebih kering di Afrika Barat, bagian Utara.

Dengan menggabungkan keahlian mereka, para peneliti arkeologi dan arkeobotani di Goethe University, Frankfurt dan ilmuwan kimia dari University of Bristol telah menguatkan bahwa asal-usul hidangan Afrika Barat tersebut berasal dari 3.500 tahun yang lalu. Mereka telah memeriksa lebih dari 450 pot atau tembikar prasejarah, 66 di antaranya mengandung jejak lipid, yaitu zat yang tidak larut dalam air.

Tim peneliti Nok di Goethe University ahli kimia dari University of Bristol mengekstraksi profil lipid, dengan tujuan mengungkap tanaman mana yang telah digunakan. Lebih dari sepertiga dari 66 profil lipid menunjukkan distribusi yang sangat khas dan kompleks, menunjukkan bahwa spesies dan bagian tanaman yang berbeda telah diproses. Rincian penelitian tersebut sekarang telah dipublikasikan di Archaeological and Anthropological Sciences dengan judul "Making the invisible visible: tracing the origins of plants in West African cuisine through archaeobotanical and organic residue analysis".

Studi tersebut merupakan bagian dari proyek yang didanai oleh German Research Foundation, yang dipimpin oleh Profesor Peter Breunig dan Profesor Katharina Neumann dan berakhir pada Desember 2021. Selama lebih dari dua belas tahun, para arkeolog dan arkeobotanis dari Goethe University mempelajari budaya Nok di Nigeria Tengah, yang terkenal dengan figur terakotanya yang besar dan produksi besi awal di Afrika Barat pada milenium pertama SM.

Meskipun akar budaya Nok sebenarnya merentang kembali ke pertengahan milenium kedua. Penelitian difokuskan terutama pada konteks sosial di mana patung-patung itu dibuat, yaitu, termasuk kebiasaan makan dan ekonomi. Menggunakan sisa-sisa tanaman berkarbonisasi dari Nigeria Tengah, adalah mungkin untuk membuktikan bahwa orang-orang Nok menanam millet mutiara. Tetapi apakah mereka juga menggunakan tanaman bertepung, seperti yam (sejenis ubi jalan), dan hidangan apa yang mereka buat dari millet mutiara sejauh ini masih menjadi misteri.

"Sisa-sisa tanaman berkarbonasi seperti biji dan kulit kacang yang diawetkan dalam sedimen arkeologi hanya mencerminkan sebagian dari apa yang dimakan orang saat itu," jelas Profesor Katharina Neumann dalam rilis Goethe University.

Penggalian bejana Nok di situs Ifana 3. (Peter Breunig)

Mereka berharap, katanya, bahwa analisis kimia akan memberikan wawasan tambahan tentang preparasi makanan. Dan memang, dengan bantuan biomarker lipid dan analisis isotop stabil, para peneliti dari Bristol mampu menunjukkan, dengan memeriksa lebih dari 450 pot atau tembikar prasejarah, bahwa orang-orang Nok memasukkan spesies tanaman yang berbeda dalam makanan mereka.

Dr Julie Dunne dari Unit Geokimia Organik Bristol University mengatakan, bahwa profil lipid tanaman yang tidak biasa dan sangat kompleks ini adalah yang paling bervariasi terlihat (secara global) dalam tembikar arkeologi hingga saat ini. "Tampaknya ada setidaknya tujuh profil lipid yang berbeda di dalam wadah, yang dengan jelas menunjukkan pemrosesan berbagai spesies tanaman dan organ tanaman di dalam wadah ini, mungkin termasuk organ penyimpanan bawah tanah (umbi) seperti yam," katanya.

Sejak awal proyek, para arkeobotani telah mencari bukti untuk penggunaan awal yam. Lagi pula, wilayah Nok terletak di "sabuk yam" Afrika Barat, yaitu wilayah benua tempat ubi saat ini ditanam. Sisa-sisa karbonisasi tidak membantu lebih lanjut di sini karena daging umbi yang lembut seringkali tidak terawetkan dengan baik dan sebagian besar juga tidak spesifik.

Analisis kimia menunjukkan bahwa, selain daun dan sayuran lain yang belum teridentifikasi, orang Nok juga memasak jaringan tanaman yang mengandung suberin. Zat ini ditemukan di periderm organ tanaman di atas tanah dan di bawah tanah. Mungkin indikasi pertama bahwa ubi digunakan, jika bukan bukti tegas yang diharapkan.

Melalui studi archaeobotanical sisa-sisa karbonisasi, millet mutiara (Cenchrus americanus) dan kacang tunggak (Vigna unguiculata), buah-buahan berminyak dari elemi Afrika (Canarium schweinfurthii) dan buah yang dikenal sebagai persik Afrika (Nauclea latifolia), yang karena jumlahnya yang tinggi biji mengingatkan pada buah ara besar, yang sudah dikenal. Analisis molekuler sekarang melengkapi gambaran persiapan makanan di lokasi budaya Nok.

Archaeobotanist Dr Alexa Höhn dari Goethe University menjelaskan bahwa sisa-sisa persiapan makanan yang terlihat dan tidak terlihat di sedimen arkeologi dan tembikar memberi kita gambaran yang jauh lebih lengkap tentang kebiasaan makan masa lalu. "Bukti baru ini menunjukkan kedalaman waktu yang signifikan dalam masakan Afrika Barat," katanya.

Baca Juga: Ganti Konsumsi Daging dengan Sayuran, Salah Satu Cara Kurangi Pemanasan Global