Minuman Kuno Makgeolli yang Digandrungi Milenial di Korea Selatan

By Galih Pranata, Rabu, 2 Februari 2022 | 15:00 WIB
Menikmati makgeolli saat makan siang, menjadi budaya baru para milenial di Korea Selatan. (Chang W. Lee/The New York Times)

Nationalgeographic.co.id—Selama penetapan lockdown karena COVID-19 yang diberlakukan, Jeong Mi-hee, seorang pengusaha wanita di Korea Selatan, mulai memperhatikan minuman alkohol lokal yang sudah lama ditinggalkan orang-orang korea.

Menghabiskan banyak waktunya di rumah, ia mencoba mengulik berbagai hal, termasuk saat menemukan ide untuk meracik makgeolli. Itu merupakan anggur (wine) beras Korea dengan rasa sedikit asam.

Setelah dicicipi racikannya, Jeong menyukainya. Lantas, ia mempelajari teknik fermentasi kuno dengan membuat racikannya secara komersil, dia memutuskan untuk memulai labelnya sendiri.

Jeong adalah salah satu dan yang pertama dari semakin banyak orang Korea Selatan yang mulai membuat makgeolli, dan salah satu dari banyaknya orang di seluruh dunia yang mengembangkan minat dalam pembuatan bir rumahan selama pandemi.

"Makgeolli atau disebut juga makkolli merupakan minuman kuno yang telah eksis sejak berabad-abad lalu," tulis Lee dan Ives kepada The New York Times.

Chang W. Lee dan Mike Ives menulis dalam artikelnya berjudul This Ancient Brew Has Retro Appeal in South Korea, dipublikasi pada 20 Januari 2022.

"Orang Korea telah membuat makgeolli selama berabad-abad. Minuman tersebut dilarang selama pendudukan Jepang selama 35 tahun yang brutal di Semenanjung Korea, dan berakhir pada tahun 1945," imbuhnya.

Beberapa produksi makgeolli dilanjutkan setelah pertempuran dalam Perang Korea yang berakhir pada tahun 1953, tetapi minuman tersebut gagal berproduksi lagi ketika pemerintah di Seoul bergulat dengan kekurangan gandum pascaperang.

Sekitar tahun 1950-an, para pejabat di Korea Selatan mendesak produsen bir untuk menggunakan kentang, bukan nasi, untuk membuat soju, jenis minuman keras tradisional Korea lainnya.

Menurut Hyunhee Park, seorang profesor sejarah di City University of New York. Pada tahun 1965, mereka melarang alkohol berbasis biji-bijian sepenuhnya, semakin menekan metode penyulingan tradisional.

Jeong Mi-hee, pendiri Mi Hee Makgeolli, mengambil gambar merek anggur berasnya. (Chang W. Lee/The New York Times)

"Makgeolli yang diproduksi secara massal mulai muncul di toko bahan makanan Korea Selatan setelah pemerintah sepenuhnya mencabut pembatasan pembuatan bir makgeolli pada 1990-an," terang Lee dan Ives.

Tetapi pada saat itu, banyak orang di Korea Selatan telah melupakan bagaimana rasanya anggur beras tradisional, sehingga makgeolli sudah tak lagi menarik bagi mereka.

Bagi orang-orang yang tumbuh di Korea pascaperang, pemahaman mereka tentang makgeolli dan soju sangat berbeda dari apa yang dipahami masyarakat Korea sebelum perang.

Memasuki era milenial, Korea Selatan telah memiliki 961 bisnis makgeolli terdaftar pada tahun 2020, naik dari 931 tahun sebelumnya dan 898 pada tahun 2018.

Orang-orang di industri wine mengatakan bahwa keseluruhan produksi telah berkembang dengan mantap, sebagian karena pemerintah telah mengizinkan penjualan online alkohol tradisional Korea mulai tahun 2017.

Beberapa situs e-commerce Korea Selatan telah melaporkan lonjakan penjualan makgeolli selama masa pandemi.

Merek yang menjual minuman keras tradisional di Korea Selatan memiliki keunggulan kompetitif karena pemerintah membatasi penjualan online jenis alkohol lainnya.

Hingga sekitar satu dekade lalu, industri makgeolli Korea Selatan didominasi oleh perusahaan besar, kata Huh Shi-myung, pembuat bir yang menjalankan Sekolah Makgeolli dan Laboratorium Budaya Korea Sool, proyek pendidikan lain di Seoul.

Pakar industri mengatakan bahwa permintaan baru untuk makgeolli sebagian besar didorong oleh para profesional muda Korea Selatan yang menikmati minuman tersebut. Daya tariknya disebut retro yang diganderungi pemuda milenial di sana.

Jeong Mi-hee turut dalam memulai meracik makgeolli di era modern ini, ia mulai membuka kedainya di Seoul dan juga melayani pelanggannya secara online.

Selama masa lockdown karena pandemi Covid, orang memesan label batch kecil secara online dan bertukar resep pembuatan bir di media sosial. Menjadi pop-culture yang populer di Korea Selatan selama pandemi berlangsung.

Baca Juga: Kenapa Banyak Sekali Orang Korea Selatan yang Punya Nama Kim?