Bak Pisau Bermata Dua, Makanan dan Alkohol Hancurkan Kekaisaran Mongol

By Sysilia Tanhati, Minggu, 20 Februari 2022 | 07:00 WIB
Lemak dan alkohol merupakan kunci ketangguhan tentara Mongol. Namun juga menjadi penyebab kejatuhan Kekaisaran ini. (Slick-o-bot/Wikimedia)

Nationalgeographic.co.id - Antara abad ke-13 dan ke-14 bangsa Mongol menjadi kekaisaran terbesar yang pernah ada di dunia. Apa yang membuat mereka begitu tangguh?

Bukan, bukan busur dan kuda yang akan dibahas di sini. Namun makanan apa yang mendorong bangsa Mongol menjadi pejuang yang perkasa?

Anda mungkin membayangkan diet sehat yang cocok untuk pejuang nomaden saat bepergian. Akan tetapi bukan makanan sehat yang dikonsumsi oleh prajurit Mongol, melainkan lemak dan alkohol. Keduanya memicu bangsa Mongol untuk menaklukkan peradaban di seluruh dunia. Bak orang kelaparan, mereka makan dan minum tanpa henti.

Makanan dan alkohol bagaikan pisau bermata dua. Makanan menyelamatkan mereka dari kelaparan. Namun di sisi lain, ini mengotori darah leluhur mereka, meracuni kesehatan dan masa depan cerah bangsa Mongol.

Baca Juga: Prasasti di Pulau Serutu, Jejak Pasukan Mongol Menginvasi Jawa

Ketika seseorang bertanya faktor apa yang menghancurkan kekaisaran mereka, ada beberapa penyebab pasti. Perpecahan antara anggota keluarga dan perang saudara serta wilayah yang terlalu besar hingga sulit dikendalikan menjadi penyebabnya. Selain itu, keunggulan dan keganasan mereka hilang seiring semakin beradabnya bangsa tersebut.

Namun bangsa ini juga memiliki kelemahan tersembunyi yaitu pola makan. Bagaimana bisa makanan membawa bangsa Mongol ke jurang kehancuran?

Kecintaan bangsa Mongol pada susu dan lemak

The Journal Nature melaporkan bahwa masyarakat yang tinggal di daerah Mongolia memelihara ternak dari sekitar 1500 SM. Analisis ini menunjukkan bukti konsumsi susu.

Para peneliti dari Institut Max Planck percaya bangsa Mongol kuno mengambilnya dari penggembala nomaden yang melakukan perjalanan. Oleh bangsa Mongol, susu tersebut diubah menjadi suatu karya seni.

Kehidupan di stepa merupakan kehidupan yang keras, dingin, dan nomaden. Jadi, kalori dan lemak dibutuhkan terutama karena makanan tidak selalu tersedia.

Daging kuda, kambing, domba, atau susu kuda adalah bagian dari pola makan untuk bertahan hidup. Domba dan kuda memberi keuntungan terbaik dalam hal kalori dan lemak.

Baca Juga: Menurunnya Populasi Unta di India Ancam Budaya Nomaden Kuno Ini

Mereka juga menyukai susu kuda (qumis), tetapi untuk alasan yang berbeda. Qumis dapat difermentasi meski hanya mengandung alkohol 3,25%. Jadi, orang Mongol perlu minum qumis dalam jumlah banyak.

Mark Cartwright dari World History Encyclopedia menjelaskan bahwa bangsa Mongol bisa sangat kreatif dengan keterbatasan persediaan susu. Mereka membuat yoghurt, mentega, dadih susu kering (qurut), dan keju yang diawetkan.

Mereka juga tidak menyia-nyiakan apa pun karena kebutuhan dan keterbatasan, bahkan darah hewan sekalipun. Hewan disembelih dengan memeras jantung keluar dari dada melalui lubang. Dengan cara ini mereka tidak kehilangan satu ons darah. Darah digunakan untuk membuat sosis. Otot kaki berbagai hewan juga digunakan untuk membuat busur komposit.

Wilayah kekuasaan semakin luas dan kebiasaan makan semakin buruk

Diet tinggi lemak orang Mongol mencegah kelaparan di masa-masa sulit. Dan meski pesta alkohol dikendalikan dalam jumlah terbatas, ini merupakan bom waktu yang siap meledak.

Ketika penguasa Mongol menjadi lebih makmur, mereka mempertahankan pola makan standar dan keinginan untuk minum. Di sisi lain, kerja fisik yang dibutuhkan dalam "kehidupan nomaden yang keras dan dingin" juga mulai dikurangi.

Busur yang digunakan memiliki berat tarikan sekitar 35 kg. Anak laki-laki Mongolia mulai menunggang kuda pada usia tiga tahun dan berburu di masa kanak-kanak. Jadi, mereka terbiasa membakar kalori dan lemak. Tetapi kemakmuran mulai menghilangkan kebiasaan-kebiasaan itu.

Cartwright menjelaskan bahwa dibutuhkan enam puluh kuda betina untuk membuat qumis beralkohol untuk jatah satu musim. Semakin besarnya kekuasaan juga membuat kaisar memiliki banyak ternak. Kombinasi antara qumis, daging kuda dan kambing hanya memperumit masalah kesehatan.

Baca Juga: Jutaan Pria di Dunia Miliki Kemiripan DNA dengan Genghis Khan

Menurut Smith, ‘orang kaya baru’ di Mongol mulai memiliki masalah dengan asam urat. Ini termasuk Qubilai Khan yang mengalami masalah ini selama hampir tiga puluh tahun. Asam urat sering ditemukan pada mereka yang makan banyak daging merah, kelebihan berat badan, dan minum alkohol secara berlebihan.

Smith kemudian mengamati keturunan penguasa Mongol. Kekaisaran yang sukses menjadi andil para pemimpin mati muda. Karena itu, jumlah anak yang dimiliki pun lebih sedikit. Tentunya ini bukan hal yang baik bagi kelangsungan hidup sebuah kekaisaran.

Misalnya, Gödei Khan diyakini meninggal selama pesta minum sepanjang malam pada usia lima puluh enam tahun. Peristiwa ini menyebabkan tentara Mongol menarik diri dari invasi ke Eropa.

Masalah yang sama dialami oleh masyarakat modern. Pada tahun 2020 hampir 40% dari populasi global dunia dianggap obesitas. WHO menyebut diabetes sebagai “epidemi global abad ke-21”.

Smith mengingatkan kita, kekaisaran terbesar yang pernah dikenal dunia makan dan minum sampai mati. Tampaknya kita tidak jauh di belakang. Bekerja di balik meja tanpa jeda mencerminkan kehidupan para penguasa Mongol. Teknologi yang diciptakan untuk memudahkan hidup manusia membuat kita enggan bergerak. Jika tidak melakukan perubahan, nasib kita mungkin sama dengan nasib mereka.