Ahli bedah biasanya memperbaiki kebocoran dan robekan di saluran pencernaan dengan jahitan bedah. Namun, menjahit jaringan tubuh membutuhkan ketelitian dan pelatihan. Setelah operasi, jahitan dapat memicu jaringan menjadi cedera, jaringan di antara jahitan juga bisa robek, menyebabkan kebocoran sekunder yang dapat menyebabkan sepsis.
Wu dan rekan-rekannya berpikir benda tersebut mungkin bisa menjadi produk untuk memperbaiki kebocoran usus, mirip dengan menambal pipa dengan lakban.
Para peneliti pertama-tama menyesuaikan bahan-bahan untuk membuat lakban mereka. Mengganti gelatin dan kitosan dengan hidrogel yang lebih tahan lama seperti polivinil alkohol. Penggantian ini membuat perekat stabil secara fisik selama lebih dari sebulan, cukup lama untuk menyembuhkan cedera usus biasa.
Mereka juga menambahkan lapisan atas kedua yang tidak lengket untuk menjaga agar tambalan tidak menempel pada jaringan di sekitarnya. Lapisan ini terbuat dari poliuretan biodegradable yang memiliki tingkat elastisitas yang hampir sama dengan jaringan usus alami.
“Kami tidak ingin benda ini lebih lemah dari jaringan alami karena jika tidak, akan berisiko pecah. Kami juga tidak ingin menjadi lebih kaku karena akan membatasi gerakan peristaltik di usus yang penting untuk pencernaan," kata Yuk.
Para peneliti sempat menghadapi kendala dalam tes awal. Lakban menempel pada jaringan, tetapi juga membengkak, seperti halnya popok hidrogel yang basah. Pembengkakan ini meregangkan lakban dan robekan di bawahnya yang dimaksudkan untuk ditutup.
“Itu merupakan masalah yang mustahil (untuk dipecahkan) karena hidrogel membengkak secara alami. Namun, kami melakukan trik sederhana, kami meregangkan sedikit lapisan perekat, lalu memasukkan lapisan non-perekat, sehingga ketika ditempelkan ke jaringan, peregangan itu tidak menyebabkan pembengkakan," jelas Yuk.
Setelah menemukan solusi pada masalah sebelumnya, tim kemudian melakukan eksperimen untuk menguji ketahanan lakban bedah. Ketika lakban ditempel pada kultur sel epitel manusia, sel terus tumbuh, menunjukkan bahwa lakban tersebut biokompatibel. Ketika ditanamkan di bawah kulit tikus, lakban terurai setelah sekitar 12 minggu, tanpa adanya efek berbahaya.
Baca Juga: Mengenal Persalinan ERACS, Apa Bedanya Dengan Operasi Caesar?
Para peneliti juga menambal cacat pada usus besar dan perut hewan. Mereka menemukan bahwa lakban berhasil menghasilkan ikatan yang kuat saat luka sembuh sepenuhnya. Ini juga menghasilkan jaringan parut dan peradangan yang minimal dibandingkan dengan metode jahitan konvensional.
Akhirnya, tim menempelkan lakban pada cacat di usus besar babi dan mengamati bahwa hewan itu terus makan secara normal, tanpa demam, lesu, atau efek kesehatan yang merugikan lainnya. Setelah empat minggu, cacat sepenuhnya sembuh, tanpa tanda kebocoran sekunder.
Secara keseluruhan, percobaan menunjukkan bahwa lakban bedah berpotensi memperbaiki cedera gastrointestinal dengan aman dan dapat diterapkan semudah lakban komersial. Yuk dan Xuanhe Zhao, peneliti lain yang terlibat, sekarang ini sedang mengembangkan lakban bedah lebih lanjut melalui startup baru dan berharap untuk mengejar persetujuan Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat untuk menguji lakban bedah dalam pengaturan medis.
“Kami sedang mempelajari masalah mekanika fundamental, adhesi, di lingkungan yang sangat menantang di dalam tubuh. Ada jutaan operasi di seluruh dunia setiap tahun untuk memperbaiki cacat gastrointestinal dan tingkat kebocoran hingga 20 persen pada pasien yang memiliki risiko tinggi. Lakban bedah ini bisa memecahkan masalah itu dan berpotensi menyelamatkan ribuan orang," pungkas Zhao.
Baca Juga: Pertama di Dunia, Transplantasi Jantung Babi Pada Manusia Berhasil