Pembunuhan Keji Tsar Nicholas II 'Napas Terakhir Kekaisaran Rusia'

By Sysilia Tanhati, Rabu, 9 Februari 2022 | 10:00 WIB
Nicholas II tidak siap dan tidak pernah ingin menjadi seorang tsar. Sayangnya, sang Ayah pun tidak mempersiapkan dirinya untuk memerintah kekaisaran. (Boissannas et Eggler/Wikimedia)

Kemudian, pada tahun 1914, Rusia terseret ke dalam Perang Dunia I. Lagi-lagi, Kekaisaran Rusia tidak siap untuk skala dan besarnya pertempuran. Rakyat Nicholas ngeri dengan jumlah korban yang diderita negara itu. Rusia memiliki jumlah kematian terbesar dalam perang. Sebanyak lebih dari 1,8 juta kematian militer dan 1,5 juta kematian warga sipil.

Perang mengikis sisa-sisa kontrol yang masih dimiliki Nicholas atas negara itu. Tanpa laki-laki di rumah untuk bertani, sistem pangan runtuh, sistem transportasi berantakan, dan rakyat mulai memberontak. Pada awalnya, Nicholas menolak untuk turun tahta, tetapi pada Maret 1917, ia mengundurkan diri.

Keluarga Nicholas II dipenjara di tempat terpencil

Pada November 1917, kaum revolusioner Bolshevik yang dipimpin oleh Vladimir Lenin mengambil alih pemerintahan. Nicholas mencoba meyakinkan Inggris dan Prancis untuk memberinya suaka. Permaisuri Alexandra merupakan salah satu cucu Ratu Victoria. Tetapi kedua negara menolak, ini membuat keluarga Nicholas II berada di tangan pemerintah revolusioner yang baru dibentuk.

Kehidupan baru keluarga Romanov berubah secara dramatis dari kehidupan agung dan mewah yang pernah mereka jalani. Baik Nicholas dan Permaisuri Alexandra sama-sama menyangkal dan menolak untuk putus asa, percaya bahwa keluarga ini akan diselamatkan. Sebaliknya, mereka diseret dari rumah ke rumah dan akhirnya dipenjarakan di sebuah rumah yang oleh kaum Bolshevik. Tempat ini disebut sebagai “rumah tujuan khusus.”

Baca Juga: Batalyon Azov: Dari Suporter Sepak Bola Menjadi Tentara Kejam Ukraina

Keluarga yang pernah tinggal di rumah agung sekarang berkemah di Rumah Ipatiev di Yekaterinburg. Tanpa seprai, banyak debu, dan tidak cukup piring atau peralatan makan. Tidak hanya itu, kehidupan mereka pun diganggu oleh para tentara. Mereka menggambar lukisan cabul di dinding kamar mandi dan juga membuat puisi cabul tentang Alexandra. Setelah merencanakan selama berbulan-bulan, keluarga Romanov akhirnya dibunuh oleh tentara Bolshevik .

Pada 17 Juli 1918, keluarga Romanov dibangunkan dan diminta bersiap-siap untuk pindah lagi. Masih berharap dapat melarikan diri, para wanita mengemasi semua barang. Mereka menjahit perhiasan berharga, ikon keagamaan, dan sejumlah besar uang pada pakaian yang dikenakan.

Harapan tinggal harapan. Tanpa diduga, keluarga Kekaisaran Rusia yang terakhir ini diserang dengan peluru, bayonet, dan pukulan keji. Ketujuh Romanov—dan napas terakhir monarki Rusia—tewas.

Apa yang mungkin tampak seperti pembunuhan dadakan sebenarnya adalah tindakan kekerasan yang direncanakan dengan hati-hati. Selama berhari-hari, para penculik telah mempersiapkan rumah untuk pembunuhan itu. Termasuk menimbun bensin untuk membakar mayat dan asam sulfat merusak tubuh keluarga itu.

Yakov Yurovsky mengoordinasikan dan memimpin pembunuhan berencana itu. Meski berita tentang kematian keluarga ini disampaikan ke rakyat, lokasi jenazah ditutupi dari publik.

Lenin, Yurovsky, dan kaum revolusioner menganggap Nicholas dan monarki sebagai kanker yang membuat kelas pekerja tidak mungkin bangkit. Ironisnya, pembunuhan yang dilakukan untuk “kebaikan bersama” malah menutupi karier politik Lenin dan rekannya.

Berita soal Revolusi Rusia pun menghiasi halaman depan surat kabar. Kematian Nicholas, Alexandra, dan lima anak mereka membuat banyak orang Rusia merindukan monarki.

Nicholas mungkin tidak tahu bagaimana memerintah Rusia, tetapi kisahnya terus hidup bahkan sampai 100 tahun setelah kematian tragisnya.

Baca Juga: Heboh Penampakan Bentuk Tengkorak Perempuan Mirip Alien dari Rusia