Kota Blitar dalam Nostalgia Sebungkus Roti

By Mahandis Yoanata Thamrin, Rabu, 9 Februari 2022 | 07:00 WIB
Kantor pos dan stasiun kereta di Blitar pada awal abad ke-20. (TROPENMUSEUM)

Nationalgeographic.co.id—Aroma harum mengalun dari sebuah bangunan kenes art-deco. Tampak depannya menampilkan jenama bersimbol jempol.

Seorang lelaki tua berkaus polo duduk termangu di dekat mesin hitung. Namanya Hartanto, tampaknya sedang menunggu pelanggan. Dia merupakan anak ketiga dari enam bersaudara hasil perkawinan Njoto Harsono dan Setjaningsih, pendiri Toko Roti Orion Blitar. Toko warisan Njoto Harsono (1912-1982) yang menjadi penanda kuliner tiga zaman—zaman Hindia Belanda, zaman Jepang, dan zaman Kemerdekaan.

Lelaki 67 tahun itu telah dipercaya ayahnya untuk mengelola perusahaan roti keluarga sejak 1970-an. Mungkin saja alasan Njoto mewariskan usaha ini ke anak ketiga karena mengikuti konstelasi rasi bintang Orion. Dalam penanggalan Cina disebut “Shen” artinya “tiga”—merujuk pada tiga bintang utama dalam sabuk rasi bintang Orion. Atau, barangkali orang tuanya mewariskan kepada Hartanto karena lelaki ini lulusan Fakultas Ekonomi Jurusan Ekonomi Perusahaan UNAIR, 1980.

Sejatinya Toko Roti Orion adalah perusahaan keluarga yang tersebar di beberapa kota. Membentang dari Purwokerto, Solo, Kediri, Pasuruan, Lumajang, Malang, sampai Blitar.

“Ayah saya khan dulu belajar dari kakaknya di Solo awal 1930-an,” ingatan Hartanto pun mengembara ke masa rintisan bisnis ayahnya.

Dia berkisah saat kedua orang tuanya merintis bisnis. Njoto bertemu jodohnya dan menikah pada 1937 di Solo. Sebuah foto berwarna pernikahan mereka masih terpajang di ruang keluarga. Awal musim kemarau 1938 pasangan baru pun hijrah ke Blitar. Mereka membuka cabang Orion di sebuah toko kecil bilangan Merdeka No.146. Selama setengah tahun mereka menjual roti dari agen Orion Kediri yang telah buka sepuluh tahun sebelumnya.

Pada 1957 toko dan pabrik roti milik Njoto berpindah beberapa ratus meter ke seberang jalan. “Di sini lebih luas ruangannya, di belakang masih leluasa untuk pabrik pembuatan roti,” tukas Hartanto.

Kini, Hartanto memperkerjakan tujuh orang karyawan di pabrik rotinya. Pagi itu para karyawan sedang memproduksi roti tawar. Mereka bekerja dari pukul 6.30 hingga 14.00. Di sudut ruangan tertumpuk rapi kantong gandum, susunan rak telor, beberapa sak gula, dan mentega yang siap diolah. Sebagian rak-rak dorong telah setengah terisi. Seorang karyawan sedang mengoperasikan mesin pengaduk adonan lalu lainnya memasukkan dalam cetakan.

Jenama Toko Roti Orion Blitar yang menampilkan tanda jempol. (@roti_orion_blitar)

Tampak lelaki tua berbadan bungkuk karena selalu bekerja dengan posisi membungkuk. Ia tak hentinya sibuk mengeluarkan cetakan-cetakan aluminium berisi roti dengan galah dari dalam kamar pemanggangan. “Yah, panas juga tapi sudah biasa”, jawabnya enteng. Setelah dikeluarkan dari pemanggangan, proses selanjutnya adalah pemotongan roti. Sekilas bentuk roti itu mirip mobil VW Combi.

Dari kamar pemanggangan inilah aroma harum khas roti menyeruak lewat cerobong asap.

Pada zaman kolonial macam roti masih sedikit, kata Hartanto. Roti semir dan roti tawar paling banyak disuka orang-orang Belanda yang bermukim di Blitar. Bahkan, sampai sekarang masih menjadi favorit orang-orang Blitar. “Pelanggannya tentara KNIL, termasuk roti kelas menengah ke atas lah,” ujarnya.

Toko Roti Orion adalah perusahaan keluarga yang tersebar di beberapa kota. Membentang dari Purwokerto, Solo, Kediri, Pasuruan, Lumajang, Malang, sampai Blitar. (@roti_orion_blitar)

Pandangan lelaki itu tiba-tiba menerawang jauh, “Yah, zaman Jepang memang masa-masa sulit, namun bersyukur bisnis Roti Orion masih bisa berjalan”. Kala Jepang menduduki Blitar, pabrik roti memang diperbolehkan berproduksi untuk konsumsi militer Jepang dan PETA, namun tetap ada pembatasan jam buka dan pemakaian listrik.

Njoto Harsono pernah kewalahan ketika tentara Jepang menggedor pintu meminta roti, bahkan ia sampai diancam dengan samurai yang terkalung di leher. “Meski sudah disiapkan roti, tentara Jepang lebih menyukai mengambil roti-roti itu sendiri sesukanya. Namun Shodanco Supriyadi pernah melarang anak buahnya meminta roti ke Orion”, kenang Hartanto seperti yang dituturkan ayahnya.

Dekade 1950-an boleh dibilang masa keemasan Orion. Mulai banyak ragam roti yang diproduksi Orion, namun makin banyak peniru pula. “Andalannya waktu itu adalah roti goreng, orang-orang bilang roti montor karena bentuknya seperti mobil”, ujar Hartanto sambil menunjuk roti yang dimaksud. Lucu juga, dulu orang Jawa menyebut mobil dengan montor, sedangkan menyebut motor roda dua dengan pit montor. “Ada juga rolltaart atau roti gulung”, tukasnya.

Dalam sehari pabrik roti ini mampu memproduksi 300-400 unit roti semir, sebagian besar untuk pelanggan Blitar dan kota-kota sekitarnya seperti Wlingi, Kanigoro, Tulung Agung, dan Srengat. “Prinsipnya daerah agen kita tidak mengganggu daerah distribusi cabang Orion dari kota lainnya,” jelas Hartanto.

Berbicara tentang Orion, setidaknya ada dua hal yang tidak berubah di pabrik roti ini. Pertama, sedari dahulu roti ini tetap berada di hati pelanggan kelas menengah atas. Kedua, tidak pernah memakai bahan pengawet atau racikan kimia untuk roti. Sekadar pengembang yang masih dibolehkan dipakai. Itulah salah satu alasan mengapa roti Orion tetap lestari dalam persaingan bisnis roti era modern, tetap empuk nan legit di tiap gigitan generasi.

Kisah ini bagian arsip Wisata Jelajah Kereta National Geographic Traveler, yang laporan perjalannya terbit pada 2010.