Nationalgeographic.co.id—Antara tahun 1896 dan 1949, hampir 20.000 orang Jawa meninggalkan pulau mereka yang kelebihan penduduk untuk bekerja di bawah kontrak di Kaledonia Baru, yang kekurangan pekerja.
Buruh dari Jawa didatangkan ke Kaledonia Baru mengikuti Koeli Ordonantie pada tahun 1880, yang dimaksudkan untuk menyediakan tenaga kerja di perkebunan yang dikelola oleh pemerintah kolonial Belanda.
"Perancis, yang kala itu tengah menduduki Kaledonia Baru, bekerja sama dengan kolonial Belanda dengan meminta pekerja untuk perkebunan kopi dan tambang nikel," tulis Jean-Luc Maurero.
Ia menulisnya dalam jurnal Cairn-Info: International Edition, yang berjudul The Javanese in New Caledonia: The Terrors of Exile and the Hazards of Integration. Jurnalnya dipublikasikan pada tahun 2002.
Orang-orang Jawa yang memutuskan bekerja di Kaledonia Baru, dikirim dengan kontrak berdurasi lima tahun. Setelah kontraknya habis, mereka memiliki hak untuk mencari repatriasi atau majikan alternatif.
"Kebutuhan tenaga kerja di Kaledonia Baru dipasok dari berbagai pekerja impor lainnya, mereka berasal dari Vietnam, Indian di bawah Persemakmuran Inggris, Jepang dan orang-orang dari Kepulauan Pasifik," imbuhnya.
Menariknya, pemerintah Perancis mengetahui akan kebutuhan mereka dalam mempekerjakan tenaga kerja dari Jawa. Mereka disukai untuk bekerja di perkebunan kopi, serta sebagai pembantu rumah tangga di pedesaan.
Setelah masa kontraknya habis, sebagian besar dari orang-orang Jawa kembali ke tanah air mereka. Akan tetapi, banyak juga dari mereka yang tinggal dan menetap di Kaledonia Baru sehingga berkontribusi pada perkembangan negaranya.
Dilansir dari Seasia, masyarakat Indonesia telah berperan penting dalam perkembangan Kaledonia Baru. Mereka menerbitkan artikel berjudul 121 Years of Javanese People in New Caledonia, yang rilis pada tahun 2017.
"Migrasi tenaga kerja berlanjut hingga tahun 1948, ketika jumlah pekerja di Kaledonia Baru mencapai 19.500 orang. Ketika Indonesia merdeka, banyak dari mereka yang kembali ke tanah air. Mereka yang tersisa tetap tinggal di wilayah tersebut dan menyatu dengan masyarakat setempat," tulis Seasia dalam lamannya.
Baca Juga: Tengkorak Korban Tsunami Tertua Sedunia Ditemukan di Papua Nugini