Kebakaran Deforestasi Indonesia Sumbang 7% Emisi Gas Rumah Kaca Dunia

By Utomo Priyambodo, Jumat, 11 Februari 2022 | 07:00 WIB
Asap pekat dari kebakaran lahan gambut. (KOMPAS/LUCKY PRANSISKA)

Nationalgeographic.co.id—Sebuah studi terbaru yang terbit di jurnal Frontiers in Climate pada 8 Februari 2022 mengungkapkan bahwa kebakaran deforestasi di Indonesia menyumbang 7% dari total emisi gas rumah kaca (GRK) global pada tahun 2019 dan 2020. Di tempat kedua, ada kebakaran deforestasi di Brasil yang menyumbang 3% dari total emisi gas rumah kaca (GRK) di planet Bumi ini pada tahun 2019 dan 2020.

Dari jumlah tersebut, kebakaran di lahan gambut berkontribusi antara 40% dan 60% dari dampak emisi gas rumah kaca. Oleh karena itu, para peneliti mendesak kebijakan perlindungan hutan dan lahan gambut yang lebih baik.

Secara keseluruhan, kebakaran hutan global pada tahun 2019 dan 2020, seperti kebakaran hutan di Australia dan California, serta kebakaran deforestasi di Brasil dan Indonesia, menyumbang antara 10% dan 15% dari emisi gas rumah kaca dunia.

Pada 2019, Indonesia kehilangan 31.000 kilometer hutan akibat kebakaran deforestasi. Sementara di Brasil, total ada 11.088 kilometer persegi hutan hancur di periode antara Agustus 2019 hingga Juli 2020. Banyak dari kebakaran hutan ini terjadi di ekosistem lahan gambut yang kaya karbon.

"Dampak yang ditimbulkan aktivitas manusia di hutan, terutama di ekosistem kritis seperti lahan gambut, tidak dikomunikasikan dengan baik kepada khalayak umum," jelas Ramanan Krishnamoorti dari University of Houston yang menjadi salah satu peneliti dalam studi ini.

"Selama musim kebakaran 2019 di Indonesia dan Brasil, kami mengamati berbagai angka yang dikutip dalam komunikasi ilmiah dan media," lanjut Krishnamoorti seperti dilansir EurekAlert!.

"Kami ingin memahami dasar dari angka-angka ini tetapi mengalami tantangan dalam mengakses data. Itu mengarahkan kami untuk menganalisis sumber pengukuran dan kesalahan, bagaimana kesalahan bertambah seiring waktu, dan dampaknya terhadap kebijakan.”

Dalam mengerjakan studi ini, Krishnamoorti dan rekannya, Aparajita Datta, menghitung emisi gas rumah kaca yang terkait dengan kebakaran deforestasi 2019 dan 2020 di Brasil dan Indonesia dan memeriksa bagian emisi yang berasal dari kebakaran lahan gambut.

Secara global, lahan gambut ada di 180 negara dan merupakan penyerap karbon terestrial terbesar. Lahan gambut global ini hnya mencakup 3% dari daratan dunia.

Baca Juga: Lahan Gambut Tropis Tertua di Dunia Ditemukan di Pedalaman Kalimantan

Gambut menyimpan setidaknya dua kali lebih banyak karbon daripada jenis vegetasi lainnya. Namun 15% dari lahan gambut yang diketahui di dunia telah rusak permanen atau sedang mengalami degradasi ekstrem karena aktivitas-aktivitas manusia.

Ketika lahan gambut terbakar, CO2 yang tersimpan terlepas ke atmosfer, bersama dengan gas-gas rumah kaca lainnya seperti karbon monoksida (CO) dan metana (CH4).

Kebakaran lahan gambut ditandai dengan lambatnya pembakaran vegetasi permukaan dan pembakaran tanah gambut di bawah tanah selama berhari-hari atau berminggu-minggu. Gumpalan asap yang menyertainya berkontribusi terhadap polusi udara, mempengaruhi satwa liar dan kesehatan manusia.

Para peneliti menggunakan data yang tersedia untuk umum untuk deforestasi di Brasil dan Indonesia untuk memperkirakan total dampak gas rumah kaca dari kebakaran deforestasi pada tahun 2019 dan 2020. Mereka memperhitungkan emisi dari kebakaran dari biomassa di atas tanah, serta tanah gambut dan material kering di lahan gambut.

Mereka menganalisis data yang tersedia dari semua provinsi di Indonesia, dan wilayah Legal Amazon dan Pantanal di Brasil. Hasilnya menunjukkan bahwa Brasil dan Indonesia secara kolektif mengeluarkan hampir 2 gigaton CO2 ekuivalen (CO2e) pada 2019 dan 1 gigaton CO2e pada 2020 dari pembakaran biomassa di atas tanah.

Ketika para peneliti memasukkan emisi dari kebakaran deforestasi di lahan gambut, dampak gas rumah kaca gabungan di kedua negara meningkat menjadi 3,65 gigaton CO2e pada 2019 dan 1,89 gigaton CO2e pada 2020.

Karena kebakaran lahan gambut terutama terjadi di bawah tanah, deteksinya melalui satelit menjadi tantangan. Gumpalan asap tebal semakin membatasi efektivitas pemantauan satelit.

Dalam studi ini para peneliti menunjukkan bahwa menggunakan data yang hanya didasarkan pada pengukuran satelit realtime memberikan perkiraan parsial dan miring dari dampak emisi aktual dari kebakaran deforestasi di lahan gambut, yang pada gilirannya berdampak pada kebijakan iklim dan mitigasi krisis iklim.

Baca Juga: Studi: Konservasi Lahan Gambut Bisa Kurangi Dampak Pandemi COVID-19

Hasil studi mereka menunjukkan bahwa emisi gambut di Brasil dan Indonesia menyumbang antara 40% dan 60% dari dampak gas rumah kaca dari kebakaran deforestasi di kedua negara. Membandingkan hasil studi ini dengan perkiraan gas rumah kaca sebelumnya menunjukkan bahwa data sebelumnya meremehkan dampak sebenarnya dari kebakaran deforestasi sebesar dua hingga tiga kali lipat selama tahun-tahun kebakaran hebat tersebut.

"Tantangan pemantauan dan pengukuran di lahan gambut menyebabkan meremehkan dampak sebenarnya dari kebakaran deforestasi. Karena perkiraan ini menjadi dasar respons kebijakan dari pemerintah pusat, hal ini mengakibatkan kurangnya perhatian terhadap perlindungan hutan dan lahan gambut sebagai bagian dari upaya mitigasi krisis iklim," kata Krishnamoorti.

Studi ini menyoroti perlunya pemetaan ekosistem lahan gambut dan kebakaran lahan gambut yang lebih baik. Pengukuran tanah sebelum dan sesudah kebakaran secara teratur untuk melengkapi pengukuran satelit juga diperlukan untuk memberikan hasil pemetaan yang lebih akurat sehingga bisa menghasilkan kebijakan yang lebih tepat.

Baca Juga: Iklim Kian Terpuruk, Kenali Lahan Gambut untuk Mencapai Karbon Netral