Evolusi Perubahan Makanan Manusia Melahirkan Konsonan 'F' dan 'V'

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Minggu, 20 Februari 2022 | 13:29 WIB
Perubahan dari pemburu-pengumpul ke pertanian memengaruhi rahang manusia untuk mengucapkan 'f' dan 'v' (konsonan labiodental). (National Museum Wales)

Nationalgeographic.co.id - Ungkapan "Anda adalah apa yang Anda makan" relevan pada bidang kesehatan atas apa yang kita konsumsi dan dampaknya pada diri kita.

Sebuah studi pada Maret 2019 silam di jurnal Science justru mengungkapkan kegiatan konsumsi manusia di masa lalu, memberi dampak secara fisik lalu membuat kita berkemampuan untuk menghasilkan suara untuk huruf 'f' dan 'v'.

Temuan ini berawal dari dugaan ahli bahasa Charles Hockett pada 1985 yang berpendapat, penggunaan gigi dan rahang sebagai alat dalam populasi pemburu-pengumpul membuat konsonan yang dihasilkan oleh bibir bawah dan gigi atas ('f' dan 'v') sulit diucapkan. Maka para peneliti di makalah berjudul "Human sound systems are shaped by post-Neolithic changes in bite configuration" mencoba mengungkap dugaan itu.

Baca Juga: Lupanare: Rahasia Prostitusi dan Rumah Bordil di Pompeii Kuno

Tim yang dipimpin Damián Blasi dari Department of Comparative Linguistics, University of Zurich, Swiss, menemukan bahwa rahang manusia modern telah berubah di masa lalu di dua periode, berdasarkan pengamatan konfigurasi dan keausan. Mereka mengamati manusia periode Paleolitik atau masa pemburu-pengumpul memiliki gigi atas dan bawah yang sejajar untuk membentuk garis datar.

Namun, ketika pertanian muncul setelah periode Neolitikum, gigi atas jadi menonjol daripada gigi bawah. Blasi dan tim berpendapat, itu disebabkan rahang mereka kurang bekerja lebih aktif dalam makanan hasil olahan yang lebih lunak seperti bubur dan keju.

Untuk membuktikannya, para peneliti membuat simulasi biomekanik dari gerakan pengucapan pada dua rahang secara virual. Cara ini dilakukan untuk menghitung usaha otot yang terlibat. Dan hasilnya, rahang yang atas dan bawah setara ternyata lebih banyak berusaha untuk menghasilkan konsonan labiodental ('f' dan 'v').

Usaha artikulasi ini penting bagi peneliti, sebab para ahli bahasa telah menetapkan bahwa itu dapat memengaruhi sebuah fonem—istilah linguistik untuk kata yang memiliki kesamaan tetapi memiliki konsonan berbeda untuk menghasilkan arti yang berbeda, seperti 'cakar' dan 'cagar'.

Baca Juga: Bukan Aksara Arab, Huruf Jawi Jadi Ciri Kebudayaan Rumpun Melayu

Para peneliti juga memeriksa perubahan suara dalam rumpun bahasa Indo-Eropa dari waktu ke waktu sebagai dukungant temuan ini. Di sini, mreka membuat pemetaan karakter stokastik yang menghitung probabilitas numerik suara yang ada dalam bahasa pada titik tertentu. 

Mereka menemukan, konsonan labiodental sangat tidak mungkin bisa dihasilkan di hampir semua cabang bahasa bila itu terjadi 6.000 hingga 4.000 tahun silam. Ketika makanan lunak dikenal setelah periode itu, suara-suara ini kemungkinan menonjol secara signifikan dalam penggunaannya.

"Kita tidak dapat menerima begitu saja bahwa bahasa lisan terdengar sama hari ini seperti yang mereka lakukan di masa lampau," urai Steven Moran ahli bahasa di University of Zurich, dikutip dari Scientific American.