Perayaan Musim Semi Lupercalia Romawi Kuno, Penuh Kekerasan Seksual!

By Sysilia Tanhati, Jumat, 11 Februari 2022 | 09:00 WIB
Luperci dilambangkan sebagai Romulus dan Remus. Mereka berlari sambil mencambuki para wanita yang berada di dekatnya sebagai lambang kesuburan. (Andrea Camassei/Wikimedia)

Nationalgeographic.co.id—Bagi bangsa Romawi Kuno, festival merupakan bagian penting dalam kehidupan keagamaan. Perayaan atau festival diatur dalam penanggalan Romawi.

Musim semi menjadi perayaan kehidupan baru, bunga dan kesuburan. Setiap kebudayaan memiliki tradisi menyambut musim semi, termasuk bangsa Romawi Kuno.

Sejak awal sejarah Romawi, Maret adalah awal tahun baru. Jadi, di bulan Februari bangsa Romawi menyingkirkan yang lama dan mempersiapkan yang baru untuk menyambut tahun baru.

Tidak hanya bercocok tanam, ini juga menjadi waktu pemurnian dan penebusan pelanggaran yang tidak disengaja pada dewa. Perayaan ini dikenal dengan nama Lupercalia.

Meski bertujuan untuk memurnikan diri, pada praktiknya, banyak kekerasan dilakukan selama perayaan. Ini termasuk pengorbanan dan kekerasan seksual.

Mengapa perayaan musim semi Lupercalia Romawi Kuno penuh kekerasan seksual?

Lupercalia adalah festival pagan kuno yang diadakan setiap tanggal 15 Februari di Roma. Beberapa sejarawan percaya bahwa perayaan Valentine berkaitan dengan Lupercalia.  

Namun bertolak belakang dengan hari Valentine, Lupercalia adalah perayaan berdarah dan penuh kekerasan seksual. Selain itu, pengorbanan hewan dan perjodohan dilakukan untuk menangkal roh jahat serta ketidaksuburan.  

Tidak ada yang tahu kapan tepatnya Lupercalia mulai dirayakan, diperkirakan perayaan ini telah dilakukan sejak abad ke-6 SM.

Menurut legenda, Raja Amulius memerintahkan agar Romulus dan Remus—keponakan kembarnya dan pendiri Roma—dibuang ke Sungai Tiber. Keduanya ditenggelamkan sebagai pembalasan atas pelanggaran sumpah selibat sang Ibu.

Namun, seorang pelayan merasa tidak tega. Sebagai gantinya, ia menempatkan keduanya di dalam keranjang sebelum dibawa ke sungai. Dewa sungai membawa keranjang berserta isinya ke hilir tempat pohon ara liar tumbuh. Keranjang itu pun tersangkut di sana.  

Romulus dan Remus kemudian diselamatkan dan dirawat dengan penuh cinta oleh serigala betina. Sarangnya terletak di dasar Bukit Palatine tempat Roma didirikan.

Si kembar kemudian diadopsi oleh seorang gembala dan istrinya. Keduanya mempelajari soal pekerjaan ayah mereka. Ketika beranjak dewasa, Romulus dan Remus akhirnya mengetahui soal perbuatan sang Paman, Raja Amulius. Pembunuhan pun dilakukan untuk membalas dendam.

Meski sudah dirawat oleh pasangan gembala, Romulus dan Remus tidak melupakan serigala yang menyelamatkan mereka sebelumnya. Keduanya berhasil menemukan gua serigala betina yang memelihara mereka. Gua itu pun diberi nama Lupercal.

Diperkirakan Lupercalia dirayakan untuk menghormati serigala betina dan menyenangkan dewa kesuburan Romawi Lupercus.

Baca Juga: Mandi Sebagai Budaya yang Istimewa bagi Masyarakat Romawi Kuno

Ritual Lupercalia berlangsung di beberapa tempat: gua Lupercal, di Bukit Palatine dan di dalam ruang terbuka Romawi, Comitium. Festival dimulai di gua Lupercal dengan mengorbankan satu atau lebih kambing jantan — representasi seksualitas — dan seekor anjing.

Pengorbanan dilakukan oleh Luperci, sekelompok imam Romawi. Setelah itu, dahi dua Luperci yang telanjang diolesi darah hewan menggunakan pisau kurban berdarah. Kedua Luperci ini melambangkan Romulus dan Remus. Darah kemudian dikeluarkan dengan sepotong wol yang direndam susu saat Luperci tertawa.

Di Roma Kuno, pesta dimulai setelah pengorbanan ritual. Ketika pesta Lupercal selesai, Luperci memotong potongan kulit kambing dari kambing yang baru dikorbankan.

Mereka kemudian berlari telanjang atau hampir telanjang di sekitar Palantine. Saat berlari, Luperci mencambuk wanita mana pun yang berada dalam jarak dekat dengan tali. Mencambuk dianggap berkaitan dengan kesuburan wanita.

Jika tindakan itu untuk menjamin kesuburan, bisa jadi pencambukan dilakukan untuk melambangkan penetrasi. Jelas, para suami tidak menginginkan Luperci bersanggama dengan istri mereka. Tetapi penetrasi simbolis, kulit terluka, yang dibuat oleh sepotong simbol kesuburan (kambing), juga efektif.

Selama Lupercalia, para pria secara acak memilih nama wanita dari toples untuk dijodohkan dengan mereka selama festival. Seringkali, pasangan yang dijodohkan tetap bersama sampai festival tahun berikutnya. Tidak sedikit yang akhirnya jatuh cinta dan menikah.

Seiring waktu, ketelanjangan selama Lupercalia kehilangan popularitas. Festival menjadi lebih suci. Tetapi masih tidak bermartabat karena mereka mencambuki para wanita, dengan mengenakan pakaian lengkap.

Pengorbanan, yang merupakan bagian dari ritual Romawi, telah dilarang sejak tahun 341 M. Tetapi ritual ini masih dilakukan sampai akhirnya Paus Gelasius mengeluarkan dokumen yang mengakhiri Lupercalia di akhir abad ke-5.

Baca Juga: Hanya di Romawi Kuno, Orang Ingin Bunuh Diri Harus Izin ke Senat