Mengintip Perjalanan Menangkap Api Abadi di Kayangan Api Bojonegoro

By Fathia Yasmine, Jumat, 11 Februari 2022 | 15:47 WIB
Kayangan Api (DOK. Berto Wedhatama/National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.id – Bojonegoro merupakan salah satu kabupaten di Jawa Timur yang lekat dengan potensi wisata alam. Kondisi muka bumi berbukit yang mengapit dataran rendah, membuat Bojonegoro memiliki bentang alam yang indah.

Berbicara tentang wisata alam, terdapat satu destinasi di Bojonegoro yang memiliki daya tarik tak biasa. Destinasi tersebut adalah Kayangan Api, yang terletak pada kawasan hutan lindung di Desa Sendangharjo, Kecamatan Ngasem.

Berbeda dengan destinasi wisata alam pada umumnya, Kayangan Api tidak menyuguhkan pesona hamparan panorama. Melainkan keindahan fenomena geologi berupa api yang tidak pernah padam, atau kerap disebut api abadi.

Nyala api tersebut menyembul di tengah tumpukan batu dan dapat dilihat dari jarak yang cukup dekat. Adapun sumber api diketahui berasal dari semburan gas alam dari perut bumi sehingga api tidak akan padam meski diguyur hujan.

Baca Juga: Diogenes dari Yunani Kuno: Tengil hingga Masturbasi di Ruang Publik

Bagi para pelancong, tak lengkap rasanya menyaksikan fenomena geologi yang langka itu tanpa mendokumentasikannya dengan tangkapan lensa kamera. Terlebih pada malam hari, nyala api abadi di tengah hutan rimbun menghasilkan pendar cahaya yang indah sekaligus unik.

Gagasan itulah yang menyelinap di benak R Berto Wedhatama saat melancong ke Kayangan Api. Fotografer profesional ini berkesempatan memotret api abadi melalui program Nawa Cahaya: Capture The Unique Lights in Indonesia yang digelar realme Indonesia bersama National Geographic Indonesia.

Berto menuturkan Kayangan Api tidak hanya istimewa dari segi fenomena alam, tetapi juga nilai budaya dan adat istiadat setempat yang melingkupinya. Lokasi api abadi ini pun sarat dengan kisah sejarah yang panjang.

"Kayangan Api merupakan tempat yang sakral, karena lokasi ini merupakan tempat pembuatan keris pada masa Kerajaan Majapahit,” ungkap Berto melalui wawancara daring, Senin (7/2/2022).

Baca Juga: Astronom Menemukan Bukti Planet Ketiga yang Mengorbit Proxima Centauri

Meski berlokasi jauh dari permukiman, Kayangan Api rutin didatangi masyarakat untuk menggelar upacara atau ritual tertentu. Biasanya, ritual dilakukan di pendopo maupun bangunan serupa anak candi yang mengelilingi api abadi.

Menurut Berto, sebenarnya ia berkunjung di waktu yang kurang tepat. Kedatangannya saat itu bertepatan dengan tanggal satu Kliwon yang dipercaya sebagai waktu bertapa masyarakat. Alhasil, objek wisata Kayangan Api ditutup lebih cepat dari jam normal operasional.

“Saya datang ke lokasi itu siang menuju sore. Belum juga foto, ternyata petugasnya bilang, 'Mas, sudah mau tutup'. Padahal masih jam lima sore,” lanjutnya.

Namun, karena kepalang sudah berada di lokasi, Berto meminta izin waktu sejenak kepada pengelola untuk mengambil gambar. Beruntung, pihak pengelola mengizinkan ia berada di sana lebih lama.

Baca Juga: Naskah Cina-Jawa, Jejak Budaya yang Terlupakan dalam Sejarah

“Pengelola bilang, 'Ya sudah boleh, Mas, tapi jangan lama-lama'. Akhirnya, dapat waktu untuk memotret dari jam enam sampai jam sembilan malam,” katanya.

Menyadari keterbatasan waktu, Berto tidak ingin menyia-nyiakan momentum tersebut. Ia bergegas untuk "menangkap" Kayangan Api menggunakan kamera smartphone realme 9 Pro+ dengan konsep minim cahaya atau low-light photography. Setelah tripod berhasil disiapkan, fotografer senior itu pun memasang smartphonenya pada tripod.

Saat proses pengambilan gambar, ia mengaku sempat kesulitan untuk menentukan angle yang pas. Embusan angin membuat lidah api bergerak ke berbagai arah dan posisi api menyembul kerap berpindah. Selain itu, minimnya sumber cahaya di lokasi juga menjadi tantangan tersendiri bagi Berto.

“Awalnya, pengin pakai konsep bergerak apinya agar lebih dramatis. Tapi akhirnya enggak jadi karena medannya sulit dan penerangan terbatas. Lampu itu hanya ada dua di area parkir, sisanya gelap,” tutur Berto.

Baca Juga: Kehidupan Sehari-hari Orang-Orang Romawi sejak Pagi hingga Malam

Berto menjajal berbagai fitur kamera pada realme 9 Pro+ agar sesuai dengan kondisi tersebut. Akhirnya, dia menggunakan fitur mode malam (night mode) dan street mode yang dianggap bisa mengakomodir konsep low-light photography dan objek bergerak.

“Cukup terbantu dengan adanya dua fitur ini. Kamera realme 9 Pro+ bisa menyesuaikan hasil dengan baik,” ungkap Berto.

Lanskap Kayangan Api (DOK. Berto Wedhatama/National Geographic Indonesia)

Sebagai informasi, realme 9 Pro+ dilengkapi dengan sensor kamera flagship Sony IMX766 dan Optical Image Stabilization (OIS). Spesifikasi ini membuat proses pengambilan gambar lebih stabil serta hasil jepretan menjadi lebih tajam dan memberi detail. 

Berto pun mengaku cukup kagum dengan performa kamera utama smartphone tersebut. Sebagai fotografer yang terbiasa menggunakan kamera profesional, realme 9 Pro+ dinilai mampu menghasilkan foto yang tajam dan minim noise meski gambar diperbesar.

“realme ini pakai fitur kamera yang biasanya saja sudah lumayan wide. Jadi tampilan objek ketika pakai mode ultra-wide menjadi lebih luas. Begitu juga ketika di-zoom, tampilan di layar dan hasilnya tetap jernih,” paparnya.

Seandainya saat itu tidak berkejaran dengan waktu, kata Berto, ia akan bisa lebih leluasa mengeksplorasi tempat dan angle. Foto yang dihasilkan pun barangkali bisa lebih ciamik karena diambil tidak terburu-buru. Meski begitu, Berto tetap puas dengan karyanya menggunakan realme 9 Pro+.

Baca Juga: Sebelum Kejatuhan Kekaisaran Romawi, Kondisinya Mirip Dengan Saat Ini

"Pengalaman menggunakan realme enggak kalah dengan kamera profesional,” imbuh dia.

Bagi para pelancong yang ingin mengabadikan Kayangan Api menggunakan kamera smartphone, Berto punya beberapa tips agar hasil jepretan memuaskan. Hal pertama yang perlu diperhatikan adalah mengenali fitur-fitur pada kamera smartphone.

Selanjutnya, menentukan peruntukan gambar yang akan diambil. Apabila foto akan diunggah sebagai konten media sosial, hindari menggunakan setelan piksel kamera yang tinggi. Lalu, gunakan mode auto agar kecerahan dan fokus kamera secara otomatis menyesuaikan kondisi cahaya serta objek.

“Misalkan menggunakan fitur street di realme 9 Pro+, lebih baik pakai mode auto saja, jangan Pro. Usahakan bawa tripod supaya kamera stabil ketika angin kencang. Terakhir, percaya diri, coba terus sampai dapat hasil yang diinginkan,” pungkas Berto.

Baca Juga: Wow, Bahan Ini Lebih Kuat dari Baja tapi Ringan seperti Plastik!

Berto Wedhatama merupakan salah satu dari delapan fotografer profesional yang menjelajahi sembilan destinasi wisata alam melalui program Nawa Cahaya: Capture The Unique Lights in Indonesia. Para fotografer mengabadikan keunikan cahaya dari setiap destinasi menggunakan realme 9 Pro+.

Untuk melihat foto karya delapan fotografer pada ekspedisi ke sembilan destinasi wisata alam tersebut, Anda dapat mengunjungi laman https://bit.ly/realme9lights. Foto-foto itu dapat Anda jadikan sebagai inspirasi dalam menghasilkan karya low-light mobile photography. (**CM/FAT)