Menangkap Pesona Danau Semayang di Kala Langit Temaram

By Fathia Yasmine, Sabtu, 12 Februari 2022 | 15:05 WIB
Lanskap Danau Semayang di malam hari (DOK. Budiono/National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.id – Pada 2020, mamalia air tawar pesut mahakam sempat menjadi salah satu topik tren dalam pemeringkat Google Trend. Ada alasan mengapa pesut mahakam memperoleh perhatian lebih.

Data Dinas Perikanan Kalimantan Timur mencatat, jumlah pesut jenis ini hanya sekitar 81 ekor saja pada 2020. International Union for Conservation of Nature pun memasukkan pesut Mahakam dalam daftar terancam punah.

Sesuai dengan namanya, pesut ini menghuni Sungai Mahakam. Sesekali, pesut mahakam bertandang ke Danau Semayang yang lokasinya berada di sebelah kiri Sungai Mahakam. Kehadirannya pun menjadi daya tarik Danau Semayang, selain keindahan alamnya.

Pada perjalanan Nawa Cahaya: Capture the Unique Lights in Indonesia di Kalimantan Timur, fotografer senior sekaligus kontributor National Geographic Indonesia, Budiono, berupaya merangkum dua daya tarik danau tersebut dalam sebuah karya foto.

Baca Juga: Diogenes dari Yunani Kuno: Tengil hingga Masturbasi di Ruang Publik

Lain dari biasanya, pada misi kali ini Budiono tidak membawa kamera yang biasa menemaninya membidik foto. Demi alasan kepraktisan dan menantang diri sendiri, ia hanya berbekal kamera smartphone realme 9 Pro+.

Danau Semayang indah di kala matahari terbit dan terbenam. Oleh karena itu, ia merangkai konsep foto dengan cahaya temaram atau low-light. Ia berharap dapat mengabadikan pesut mahakam yang tengah muncul ke permukaan danau di bawah temaram cahaya matahari terbit atau terbenam.

Sayangnya, harapan tidak seindah realita. Cuaca di sepanjang perjalanan cerah, tetapi saat tiba di lokasi, danau sudah memasuki waktu pasang.

“Karena kondisi air di danau banjir (pasang) di jam empat sore, pesutnya pada naik ke hulu Sungai Mahakam semua,” ungkap Budiono melalui wawancara daring, Senin (7/2/2022).

Baca Juga: Astronom Menemukan Bukti Planet Ketiga yang Mengorbit Proxima Centauri

Alih-alih membatalkan rencana, ia pun beranjak ke stasiun pengawas yang terletak tidak jauh dari danau. Malang, mendung pun datang disertai angin kencang. Beberapa kali Budiono harus memegang tripod miliknya agar tidak terempas angin.

“Tidak lama ada hujan tepat di jalur matahari terbenam, di jalur sunset. Padahal di tempat lain kanan-kiri tidak ada hujan, tetapi tepat di mana kami mengarahkan sasaran itulah hujannya. Jadi tertutup sama sekali,” imbuhnya.

Kondisi lapangan yang tak mendukung rupanya tidak mengendurkan optimisme Budiono. Ia pun beranjak mengelilingi seluruh area danau untuk mencari lokasi foto terbaik yang bisa didapatkan.

“Itu 10 ribu hektare danau kami jelajahi kanan dan kiri, muka dan belakang, tidak ada angle yang bagus untuk ambil gambar,” lanjutnya.

Baca Juga: Naskah Cina-Jawa, Jejak Budaya yang Terlupakan dalam Sejarah

Lelah karena tidak mendapat foto yang diinginkan, Budiono pun menunggu hingga dini hari. Penantiannya berbuah manis, ia berhasil mengabadikan sambaran petir kendati dirinya gagal mendokumentasikan siluet pesut.

“Jadi malam sambil menunggu pesut mahakam lewat, ternyata yang dapat (gambarnya) malah petir. Sebenarnya memang pure luck saja, karena saya ingat di daerah itu petir banyak sekali,” paparnya.

Belum puas dengan hasil yang didapat, ia kemudian melanjutkan perjalanan setelah fajar ke desa terdekat, yakni Desa Kotabangun. Awalnya, Budiono mengaku ingin berlama-lama di danau hingga pagi. Namun, arus air yang deras dan langit yang gelap mengurungkan niatnya.

“Mulai jam empat pagi kami sudah keluar menuju ke titik balik dari Danau Semayang. Di situ juga awannya gelap sekali, tebal. Walaupun tidak hujan, tetapi memang cahaya semburatnya sukar sekali untuk didapat. Akhirnya, kami bergeser dan mencoba untuk menangkap cahaya matahari yang sudah keluar,” imbuhnya.

Baca Juga: Inilah Dinosaurus Predator Terbesar dan Terkuat dari Zaman Sinemurian

Sayang, pemandangan desa kala itu terasa kurang optimal bagi Budiono. Ia lantas kembali mengunjungi Danau Selayang untuk mencoba peruntungannya kembali. memasuki sore hari, Budiono pun mengejar momen sunset sekaligus mencoba berbagai preset yang dimiliki oleh realme 9 Pro+.

“Matahari saat itu tetap tertutup, tetapi ada gap sekitar 5 menit antara awan yang di atas dengan yang di bawah itu ada bolongan. Di situlah kami memang mengoptimalkan waktu untuk mengejar sunset-nya tadi. Mulai dari pakai yang wide angle sampai ke zoom kami coba semua,” ujar Budiono.

Lanskap Danau Semayang (DOK. Budiono/National Geographic Indonesia)

Selama tiga hari mengeksplorasi Danau Semayang, Budiono mengaku bahwa cuaca pada waktu itu kurang optimal untuk mengambil foto low-light dari berbagai angle. Meski demikian, ia tetap merasa puas karena kamera smartphone realme 9 Pro+ yang ia bawa berhasil mengabadikan momen petir terbaik kendati berada di area gelap gulita.

“Perjuangan minum banyak kopi dan  pakai lotion nyamuk sepadan dengan hasil yang didapat. Pada saat itu, saya menggunakan opsi ISO terendah 100, dan di speed 1 yang paling tinggi 32 detik. Ditambah dengan menggunakan fitur Optical Image Stabilizer (OIS) karena anginnya kencang,” ujarnya.

Terkait dengan kemampuan pengambilan foto low-light, Budiono menyatakan, fitur ISO, shutter speed, dan diafragma atau aperture realme 9 Pro+ sudah cukup mumpuni. Untuk mengambil foto di area danau, Budiono menggunakan mode Manual dan Pro.

“Secara garis besar realme ini sudah cukup mumpuni. Untuk penggunaan jangka panjang, baterai ponsel ini juga mampu bertahan lama alias cuma turun sedikit. Padahal foto yang diambil beribu-ribu,” ungkapnya.

Baca Juga: Wow, Bahan Ini Lebih Kuat dari Baja tapi Ringan seperti Plastik!

Bagi para pelancong yang ingin mendokumentasikan pesut mahakam, Budiono berpesan untuk mengunjungi danau pada bulan Juni hingga Agustus. Pasalnya, pada bulan tersebut air danau surut sehingga pesut dan sunset bisa dengan mudah diabadikan.

“Jadi memang kalau mau mengambil semacam refleksi atau apa paling bagus pada waktu airnya surut karena dia riaknya banyak. Angin-angin itu menimbulkan gelombang-gelombang yang menarik,” papar Budiono.

Namun apabila terbatas waktu, ia menyarankan pelancong untuk mencoba mengunjungi Air Terjun Tiga Susun di Kedang Ipil yang tidak jauh dari Danau Semayang. Meski begitu, ia mengingatkan bahwa medan perjalanan mungkin tidak semudah di area Jawa, Sumatera, dan Bali.

“Kalau di sini ini untuk menempuh jarak 100 kilometer perlu 4,5 jam dengan mobil. Dan itu kalau hujan bisa lebih lama lagi. Makanya, untuk mengunjungi area itu (Air Terjun Tiga Susun) aksesnya memang masih agak sulit dan butuh perjuangan lagi,” pungkasnya.

Untuk melihat foto karya Budiono dan tujuh fotografer lain pada ekspedisi ke sembilan destinasi wisata alam tersebut, Anda dapat mengunjungi laman https://bit.ly/realme9lights. (**CM/FAT)