Pekerjaan Terkutuk di Abad ke-17: Pemakan Dosa Orang yang Meninggal

By Sysilia Tanhati, Selasa, 22 Februari 2022 | 16:00 WIB
Seorang pemakan dosa datang untuk berkabung bersama keluarga yang ditinggalkan. Selain itu, mereka juga 'memakan' dosa orang yang meninggal. (Jean-Frédéric Bernard/Wellcome Collection)

Nationalgeographic.co.id—Pemakaman pada abad ke-17 hingga 19 di Wales, Inggris, dan Skotlandia terkadang memiliki tamu yang tidak biasa. Seorang pemakan dosa datang untuk berkabung bersama keluarga itu. Tidak cuma berkabung, pemakan dosa memiliki tugas yang mungkin membuat Anda mengernyitkan dahi.

Mereka berada di sana untuk memakan dosa orang yang sudah meninggal. Terkadang ini dilakukan dengan memakan roti yang tertinggal di dada atau wajah jenazah. Di lain waktu, mereka menyantap makanan yang hanya diletakkan di atas orang yang sudah meninggal.

Pelayanan ini hanya mendapatkan sedikit upah meskipun mereka ‘menghapus’ dan menanggung dosa. Tidak jarang pemakan dosa mendapat caci maki dari masyarakat. Lalu mengapa ada yang mau melakukan pekerjaan tidak biasa ini?

Tradisi panjang dan mengerikan pemakan dosa

Tidak ada yang tahu persis di mana atau bagaimana konsep pemakan dosa dimulai. Ini dapat ditelusuri kembali tradisi Yahudi yang menyatakan dosa pada seekor kambing. Atau bahkan para bangsawan yang memberikan roti kepada orang miskin sebagai imbalan doa bagi kerabat yang meninggal.

Terlepas dari kapan dimulai, ritual makan dosa mulai menyebar sejak abad ke-17. Kemudian, pemakan dosa sering dipanggil untuk melakukan pelayanan aneh mereka.

Setelah kematian - seringkali yang tidak terduga - pemakan dosa dipanggil ke rumah almarhum. Di sana, keluarga mereka memberi si pemakan dosa menir (setara dengan beberapa dolar) dan membawa mereka ke jenazah.

Disaksikan oleh keluarga, pemakan dosa akan mengambil makanan yang tersisa di dada orang yang sudah meninggal. Makanan, biasanya roti atau kue kering, diyakini telah menyerap dosa-dosa almarhum yang belum diakui dan berlarut-larut. Sambil duduk di bangku dan menghadap pintu, pemakan dosa memakannya, menanggung dosa untuk dirinya sendiri.

“Aku memberimu kemudahan dan istirahat sekarang, Sayangku,” kata pemakan dosa. “Jangan menyusuri jalan setapak atau padang rumput kami. Dan untuk kedamaianmu, aku menggadaikan jiwaku sendiri. Amin."

Baca Juga: Pemakaman Romawi Kuno, Pelayat Harus Garuk Wajah sebagai Tanda Duka

Baca Juga: Setelah 61 Tahun, Pemakaman Sadis Tsar Nicholas II Akhirnya Terungkap

Setelah itu, keluarga yang berkabung sering mengusir pemakan dosa dari rumah dengan tongkat sambil meneriakkan caci maki.

Tugasnya begitu mengerikan, mengapa ada yang mau melakukan pekerjaan ini?

Ketika penulis perjalanan Catherine Sinclair mengunjungi Monmouthshire pada abad ke-19, dia mencatat bahwa pemakan dosa menghadiri banyak pemakaman lokal. Menurutnya, orang-orang itu adalah kafir yang berani melakukan penipuan.

Jadi, siapa sebenarnya pemakan dosa itu? Sebagian besar dari mereka adalah orang miskin, pengemis, atau pecandu alkohol. Mereka melakukan apa saja untuk beberapa dolar dan makanan. Namun, sebagai ganti dari pekerjaan itu, mereka menjadi orang buangan masyarakat.

Pemakan dosa benar-benar dibenci di lingkungan sekitar, mereka dianggap sebagai paria atau kelompok yang hina dina.

Miskin dan menanggung beban dosa orang lain, mereka terpaksa hidup sendiri. Penduduk desa bahkan tidak mau bertatap mata atau berurusan dengan mereka. Pemakan dosa juga harus berhati-hati karena pekerjaan mereka tidak disukai oleh gereja.

Namun tidak semuanya bekerja untuk uang. Richard Munslow, pemakan dosa terakhir, diduga melakukan tradisi ini karena kesedihan. Seorang petani mapan, ia mulai menjadi pemakan dosa setelah tiga anaknya meninggal. Ketika Munslow sendiri meninggal pada tahun 1906, ia membawa tradisi ini bersamanya.

Tradisi makanan di pemakaman dari berbagai budaya

Meskipun pemakan dosa terakhir meninggal pada tahun 1906, praktik pemakan dosa menggarisbawahi sesuatu yang menarik tentang ritual. Hingga saat ini, makanan tetap menjadi bagian penting dari ritual berkabung.

Beberapa tradisi memiliki kemiripan yang kuat dengan pemakan dosa. Di Tiongkok, misalnya, dosa atau kejahatan orang yang sudah meninggal terkadang secara ritual dipindahkan ke makanan. Makanan ini kemudian dikonsumsi oleh keluarga yang ditinggalkan.

Dan pada awal abad ke-20, keluarga di Bavaria diduga menaruh 'kue mayat' pada almarhum, yang kemudian dimakan oleh kerabat terdekat.

Budaya lain telah memasukkan makanan dengan cara yang lebih halus. Di Italia, pelayat mengonsumsi kue berbentuk seperti tulang dan organ ‘ossi di morti’ atau tulang orang mati. Orang Jerman sering mengakhiri pemakaman dengan leichenschmaus, atau pesta pemakaman. Seringkali, mereka menikmati zuckerkuchen atau kue gula.

Pada akhirnya, memakan dosa menjadi tradisi yang menarik, aneh, dan bermakna mendalam. Tradisi ini bercerita banyak tentang bagaimana manusia menghadapi kematian dan akhirat.

Karena itu Richard Munslow pantas menerima cinta dan perhatian setelah seabad kematiannya. Pada 2010, penduduk setempat di Ratlinghope bekerja sama untuk merevitalisasi makamnya.

“Kuburan ini sekarang dalam kondisi perbaikan yang sangat baik,” kata Pendeta Norman Morris, vikaris kota. "Tapi saya tidak punya keinginan untuk mengembalikan ritual yang menyertainya," tuturnya.

Baca Juga: Perdana, Temuan Kayu dari Situs Zaman Neolitikum di Orkney, Skotlandia

Baca Juga: Fosil Tertua di Dunia Ditemukan di Skotlandia, Usianya 1 Miliar Tahun