Revolusi Februari, Kepayahan Tsar Nicholas II dalam Memimpin Rusia

By Galih Pranata, Rabu, 23 Februari 2022 | 09:00 WIB
Foto diambil pada 26 Februari 1917 selama Revolusi Februari di St. Petersburg, Rusia. (World Atlas)

Nationalgeographic.co.id—"Tsar II selalu tak peduli dengan penderitaan rakyat Rusia dan kebijakannya kerap mendiskriminasi etnis minoritas," tulis BBC dalam artikelnya yang berjudul Reasons for the February Revolution, 1917.

Nicholas II dianggap tidak mampu memerintah secara efektif. Dia membuat keputusan yang buruk yang menyebabkan memburuknya hubungan dengan pemerintah dan meningkatkan kekacauan antara warga sipil dan tentara.

Sang kaisar dianggap meracau pemerintahan di Rusia, ia tidak kompeten dalam memimpin kekaisarannya. Masalah politik terus berkecamuk seiring tak juga lengsernya Tsar II dari tampuk kepemimpinan.

"Tsar Nicholas II menolak untuk mengurangi kekuasaan absolut apa pun yang dia pegang," imbuh BBC dalam laman resminya.

"Dimahkotai pada 26 Mei 1894, Nicholas II tidak terlatih atau cenderung untuk memerintah, yang tidak membantu otokrasi sama sekali yang ia coba pertahankan di era yang sangat membutuhkan perubahan," tulis History dalam laman resminya. Ia menerbitkan artikel dengan judul Czar Nicholas II abdicates Russian throne.

Kepayahan Nicholas II semakin terlihat kala Rusia dihadapkan pada sebuah pertempuran penting dengan Jepang.

Ketika Duma —majelis rendah parlemen Rusia, dan Dewan Negara adalah majelis tinggi— ditarik kembali selama Perang Dunia 1, sekelompok Oktoberis dan Kadet mendirikan Blok Progresif.

"Kelompok ini ingin memiliki kendali lebih besar atas perang. Sebagai tanggapan, pada tahun 1915, Nicholas II menutup Duma. Ia mengasingkan banyak kaum liberal," sambung BBC.

Sebaliknya, Nicholas II menyatakan dirinya sebagai Panglima Angkatan Darat dan berangkat ke Front Timur untuk mengambil kendali operasi dalam pertempuran menghadapi Jepang.

Nicholas II percaya bahwa, dengan mengambil alih kepemimpinan perang, pasukannya akan terinspirasi dan akan berperang dengan semangat baru. Sayangnya, Tsar hanya tahu sedikit tentang komando dan organisasi kekuatan militer besar. 

Nicholas II tidak terdidik dengan baik dalam taktik perang. Selain itu, ketidakhadirannya membuat pemerintahan yang lemah di Petrograd (sebelumnya St. Petersburg).

Nicholas II tidak siap dan tidak pernah ingin menjadi seorang tsar. Sayangnya, sang Ayah pun tidak mempersiapkan dirinya untuk memerintah kekaisaran. (Boissannas et Eggler/Wikimedia)

Akibatnya, yang terjadi adalah kekalahan Rusia atas Jepang yang membuat Nicholas II tak lagi dipercaya sebagai sosok tsar dan pemimpin yang tepat, yang dibutuhkan Rusia.

"Ketidakpuasan di Rusia semakin tumbuh ketika makanan menjadi langka, tentara menjadi lelah berperang, dan kekalahan yang menghancurkan di front timur, menunjukkan kepemimpinan tsar yang tidak efektif," imbuhnya.

Saat perang terus berlanjut, kualitas dan efektivitas pemerintahan Kekaisaran Rusia dipertanyakan. Kepergian Nicholas II ke garis depan membuat istrinya, Tsarina Alexandra, memegang kendali.

"Alexandra tidak terlalu populer di Rusia. Dia pendiam dan canggung di depan umum. Lebih penting lagi, dia adalah seorang putri Jerman dan beberapa orang curiga di sini letak kesetiaan dalam perang," ungkap BBC dalam artikelnya.

Baca Juga: Mengurai Benang Kusut di Balik Perselisihan Rusia dan Ukraina

Baca Juga: Kontroversi Kematian Rasputin, Rahib Gila Kepercayaan Tsar Nicholas II

"Ia bertekad bahwa tidak ada anggota pemerintahan kekaisaran yang boleh berada dalam posisi yang cukup kuat untuk menantang otoritas suaminya yang tercinta," lanjutnya. 

Maka dari itu, Alexandra menunjuk menteri yang tidak terlalu mengancam, terkadang tidak kompeten, untuk melengserkan kekuasaan suaminya. Akibatnya, di masa perang, para menteri yang tak kompeten menyebabkan bencana bagi monarki dan bagi Rusia.

Akibat ketidakpuasan dan ketidakpercayaan lagi terhadap kepemimpinan Nicholas II sebagai tsar, sejumlah gerakan pemberontakan mulai berlangsung sejak Maret (Februari dalam penanggalan Rusia) 1917.

Sejumlah pergerakan itu menyebabkan kehancuran bagi rezim Nicholas II. Bahkan, ketika rezimnya mengalami kehancuran total, Nicholas II masih menunjukkan ketidakmampuannya untuk menghadapi kenyataan.