Para peneliti juga melacak awan-awan itu, dan mereka memperoleh kecepatan di urutan 360 kilometer per jam. Studi lain, dan simulasi komputer menunjukkan bahwa kecepatan angin di dasar awan hampir konstan, tanpa perbedaan yang signifikan antara siang dan malam. Tim kemudian dapat mengasumsikan bahwa kecepatan angin yang tercatat pada malam hari adalah sama di lapisan atmosfer yang lebih rendah di siang hari.
Dengan demikian, untuk pertama kalinya, para peneliti telah melakukan pengukuran perbedaan kecepatan angin antara dua ketinggian dari pengamatan simultan, dan menyimpulkan bahwa, pada siang hari dan hanya dalam 20 kilometer, angin yang sejajar dengan khatulistiwa mengalami peningkatan kecepatan sekitar 150 kilometer per jam lebih. Panas dari permukaan mungkin merupakan mesin yang menopang kecepatan angin siklon ini di puncak awan.
Ternyata, menggunakan metode penelitian yang dibawa oleh Javier Peralta mendapatkan bahwa ketepatan data yang dikumpulkan dengan teleskop di Bumi sebanding dengan kamera inframerah pada wahana antariksa.
"Kami menggunakan metode referensi geografis yang sama dari gambar yang diperoleh dengan wahana antariksa, yang dikembangkan oleh NASA dan dilengkapi oleh Badan Antariksa Eropa," jelas Machado, sebagaimana dilansir Airvers Tech News. "Seolah-olah teleskop di tanah ini adalah pesawat luar angkasa." imbuhnya.
Dengan keberhasilan pendekatan ini, tim peneliti saat ini akan memperluas penelitian mereka tentang komponen vertikal angin dengan pengamatan baru dari tanah yang dikoordinasikan dengan probe yang saat ini berada di orbit Venus, yaitu misi Akatsuki, dari badan antariksa Jepang JAXA.
Studi ini menunjukkan bahwa pengamatan yang dilakukan dari Bumi melengkapi data yang dikumpulkan pada saat yang sama oleh misi luar angkasa.