Nationalgeographic.co.id—Venus, adalah salah satu planet di tata surya kita yang masih menyimpan banyak informasi yang belum dipahami oleh para peneliti. Mungkin karena letaknya yang hampir terlalu dekat dengan Matahari membuatnya teramat sulit untuk dipelajari, sehingga banyak misi luar angkasa yang diluncurkan ke planet ini.
Meskipun jaraknya dekat dengan Bumi dan memiliki ukuran yang hampir sama, namun Venus bisa dikatakan adalah dunia lain yang mengerikan. Suhu di permukaannya mencapai 460 derajat Celcius. Ia memiliki mantel tebal awan asam sulfat. Sedangkan kandungan dari atmosfernya hampir hanya mengandung karbon dioksida saja, yang mana menghasilkan efek rumah kaca yang melindungi suhu permukaan. Tujuh puluh kilometer di atasnya, terdapat badai angin yang terus-menerus. Angin ini tercipta dari apa yang disebut sebagai superrotasi Venus.
Belum lama ini, sebuah studi baru yang dipimpin oleh Pedro Machado, dari IAstro dan Faculdade de Ciências da Universidade de Lisboa (Ciências ULisboa) dan diterbitkan dalam jurnal Atmosphere pada 17 Februari 2022 berjudul Venus’ Cloud-Tracked Winds Using Ground- and Space-Based Observations with TNG/NICS and VEx/VIRTIS, telah memberikan set pengukuran paling rinci dan lengkap yang pernah dibuat dari kecepatan angin di Venus sejajar dengan ekuator dan pada ketinggian dasar dek awan.
“Angin berakselerasi saat kita bergerak ke atas untuk meningkatkan ketinggian, tetapi kita belum tahu mengapa,” kata Machado, seperti dilaporkan Newspostalk. “Studi ini banyak menyoroti hal ini, karena kami berhasil mempelajari komponen vertikal angin untuk pertama kalinya, yaitu bagaimana energi dari lapisan bawah dan lapisan yang lebih panas dibawa ke atas awan, ke mana arahnya dengan percepatan angin.”
Tim mencatat perbedaan kecepatan angin sekitar 150 kilometer per jam lebih cepat di puncak awan, yang memperkuat hipotesis bahwa energi sedang ditransfer dari panas lapisan bawah ke sirkulasi umum atmosfer. Suhu di permukaan tanah mencapai 460 derajat Celcius dan menghasilkan radiasi inframerah (disebut emisi termal), yang memanaskan udara dan membuatnya bergerak ke atas.
Radiasi ini melewati daerah paling transparan di dasar awan, sekitar 48 kilometer di atas permukaan. Ketika Venus diamati dalam inframerah, kita melihat cahaya ini memancar dari panas permukaan, dan siluet awan, buram dan gelap, menjadi terlihat.
Dengan menggunakan teknik pelacakan yang ditingkatkan oleh Javier Peralta, dari Universidad de Sevilla dan rekan penulis studi ini, para peneliti secara tidak langsung menghitung kecepatan angin yang mendorong awan tersebut. Kecepatan ini sekitar 216 kilometer per jam di bagian bawah geladak awan dan di lintang sedang, menurun hingga setengah lebih dekat ke kutub. Penelitian ini dilakukan di malam hari agar dapat memulihkan gambar diambil tim dalam inframerah dengan bantuan teleskop TNG (Telescopio Nazionale Galileo) di La Palma, Kepulauan Canary.
Baca Juga: Wahana Antariksa NASA Sukses Menangkap Pencitraan Sisi Malam Venus
Baca Juga: Studi Baru: Venus Tidak Pernah Memiliki Lautan Seperti Bumi
Baca Juga: Teori Baru Pembentukan Planet, Bumi Terbentuk dari Tabrak Lari
Di hari yang sama, antara 11 dan 13 Juli 2012, penyelidikan Venus Express, dari European Space Agency (ESA), kemudian mengorbit planet, mengamati dalam cahaya tampak bagian atas dek awan, sekitar 20 kilometer di atas, pada ketinggian 70 kilometer.
Para peneliti juga melacak awan-awan itu, dan mereka memperoleh kecepatan di urutan 360 kilometer per jam. Studi lain, dan simulasi komputer menunjukkan bahwa kecepatan angin di dasar awan hampir konstan, tanpa perbedaan yang signifikan antara siang dan malam. Tim kemudian dapat mengasumsikan bahwa kecepatan angin yang tercatat pada malam hari adalah sama di lapisan atmosfer yang lebih rendah di siang hari.
Dengan demikian, untuk pertama kalinya, para peneliti telah melakukan pengukuran perbedaan kecepatan angin antara dua ketinggian dari pengamatan simultan, dan menyimpulkan bahwa, pada siang hari dan hanya dalam 20 kilometer, angin yang sejajar dengan khatulistiwa mengalami peningkatan kecepatan sekitar 150 kilometer per jam lebih. Panas dari permukaan mungkin merupakan mesin yang menopang kecepatan angin siklon ini di puncak awan.
Ternyata, menggunakan metode penelitian yang dibawa oleh Javier Peralta mendapatkan bahwa ketepatan data yang dikumpulkan dengan teleskop di Bumi sebanding dengan kamera inframerah pada wahana antariksa.
"Kami menggunakan metode referensi geografis yang sama dari gambar yang diperoleh dengan wahana antariksa, yang dikembangkan oleh NASA dan dilengkapi oleh Badan Antariksa Eropa," jelas Machado, sebagaimana dilansir Airvers Tech News. "Seolah-olah teleskop di tanah ini adalah pesawat luar angkasa." imbuhnya.
Dengan keberhasilan pendekatan ini, tim peneliti saat ini akan memperluas penelitian mereka tentang komponen vertikal angin dengan pengamatan baru dari tanah yang dikoordinasikan dengan probe yang saat ini berada di orbit Venus, yaitu misi Akatsuki, dari badan antariksa Jepang JAXA.
Studi ini menunjukkan bahwa pengamatan yang dilakukan dari Bumi melengkapi data yang dikumpulkan pada saat yang sama oleh misi luar angkasa.