Bagi Plato, cinta itu sendiri bukanlah tujuan akhir, tetapi hanya sarana untuk mencapai konsep keindahan tertinggi. Plato memandang bahwa cinta adalah kendaraan untuk dapat menggapai suatu keindahan tertinggi.
"Cinta ideal Plato terhubung dengan gagasannya tentang 'dunia ideal', dunia di mana segala sesuatunya terasa sempurna dan realitas material hanyalah salinan dari citranya," sambung Ospino.
Baca Juga: Menelisik Lesbos, Pulau Kecil Yunani Asal Mula Kata 'Lesbian'
Baca Juga: Diogenes dari Yunani Kuno: Tengil hingga Masturbasi di Ruang Publik
Baca Juga: Mitologi Yunani: Takdir 3 Perempuan Berbagi Satu Mata dan Satu Gigi
Keindahan yang hakiki tidak hanya ditangkap oleh indera manusia saja, tetapi juga yang dapat dirasakan dalam jiwa yang mengalaminya. Tujuan akhir dari cinta platonik adalah meraih keindaham dalam jiwa, cinta yang tak melulu soal nafsu dan birahi.
Adapun kriteria yang terdapat dalam filsafat cinta Plato atau Cinta Platonik: kejujuran yang menyandarkan pada kepercayaan satu sama lain, keberterimaan pada perbedaan di antara kedua belah pihak yang saling mencinta, serta tentang munculnya keindahan dalam jiwa dengan tanpa melibatkan nafsu dan hasrat seksual.
Konsep inilah yang dikenal dalam Alegori Plato sebagaimana analoginya yang menggambarkan seseorang yang terperangkap dalam gua. Orang yang mencapai pengalaman sejati tentang keindahan, setara dengan meninggalkan gua untuk keindahan dunia luar.